Endometriosis Bisa Menjalar ke Otak, Picu Pusing hingga Kematian

Liputan6.com, Jakarta - Endometriosis bisa menjalar ke berbagai organ tubuh termasuk otak. Endometriosis adalah pertumbuhan abnormal dari selaput dalam rahim (Endometrium), yang bisa dijumpai tumbuh di luar rahim.

Seperti ovarium, usus, kandung kemih, rongga perut, dan lain-lain. Bahkan ada yang bisa menjalar lebih jauh ke umbilikus (pusar), paru-paru, sampai ke otak.

“Jadi sebetulnya endometriosis itu awalnya di perut bawah, dari rahim. Dia bisa keluar dari rahim dan tumbuh sekitar situ, dia bisa menjalar ke mana-mana bisa melalui aliran darah atau aliran cairan limfa (getah bening) dan bisa sampai ke otak,“ kata dokter spesialis kebidanan dan kandungan, Hardi Susanto dari RS Eka Hospital PIK kepada Health Liputan6.com dalam temu media di Jakarta (16/12/2025).

Endometriosis yang menjalar ke otak adalah kondisi yang sudah parah dan berjalan lama. Bahayanya, ketika perempuan dengan kondisi ini haid, maka otak pun bisa mengalami perdarahan.

“Perdarahan itu bisa menekan jaringan otak dan mengganggu atau membuat pasien menjadi cedera dan biasanya yang begitu itu sudah sangat parah sekali. Dan biasanya yang menangani dokter bedah otak.”

Jika endometriosis menyerang otak, sambungnya, maka gejala yang dapat timbul adalah pusing. Pasien juga bisa mengalami mimisan alias keluar darah dari hidung. Dan ketika dites, darah yang keluar bukan darah mimisan biasa melainkan darah yang mengandung sel-sel endometrium.

“Ya endometrium mestinya ada di bawah, tapi kok ada di sini (hidung), ini endometriosis yang sudah stadium 4 biasanya.”

Jika darah endometriosis tidak keluar, sambung Hardi, maka darah ini dapat menggumpal di otak.

“Jika darah itu enggak keluar, darah itu akan menggumpal di otak, menekan jaringan otak sehingga membuat pasien ada yang sampai enggak bisa jalan, ada yang sampai enggak sadar, bahkan bisa meninggal.”

“Dan kadang-kadang itu sulit diketahui karena orang menduganya pendarahan di otak atau pembuluh darah pecah, padahal itu penyakit endometriosis. Kasusnya jarang sih memang, tapi ada,” kata Hardi.

Hardi menjelaskan, endometriosis merupakan pertumbuhan abnormal dari selaput dalam rahim (Endometrium), yang bisa dijumpai tumbuh di luar rahim.

Endometriosis adalah penyakit wanita yang berhubungan dengan haid dan bergantung pada hormon estrogen, yaitu hormon alami yang diproduksi oleh tubuh wanita sendiri pada usia subur. Oleh sebab itu, gejala dan nyeri haid pada endometriosis dapat hilang timbul dan menurun atau hilang sama sekali ketika pengidap sudah menopause.

Gejala endometriosis sangat beragam. Gejala utama yang sering dialami adalah nyeri yang dahsyat pada saat haid, terutama di daerah panggul (dismenore). Selain itu, pasien juga bisa mengalami nyeri saat buang air besar dan buang air kecil atau nyeri saat berhubungan badan.

Gejala lain termasuk perdarahan haid yang banyak, siklus haid yang pendek, perut kembung, kadang mual dan muntah, serta rasa lelah. Semua gejala ini dapat menyebabkan aktivitas sehari-hari terganggu dan menurunnya kualitas hidup.

Salah satu komplikasi terbesar dari endometriosis adalah ketidaksuburan/sulit hamil (Infertilitas). Terkadang, wanita tanpa gejala endometriosis baru mengetahui penyakit ini saat mereka ingin hamil.

Endometriosis dapat menyebabkan komplikasi berupa gangguan kesuburan (Infertilitas). Hal ini terjadi akibat kelainan anatomi dan infeksi kronis yang menyebabkan timbulnya Kista Coklat dan Perlekatan karena endometriosis, yang pada akhirnya mengurangi peluang terjadinya kehamilan alami. Perlekatan pada ovarium dan/atau saluran tuba dapat menghambat terjadinya pertemuan antara sel telur dengan sperma suami.

Penyebab endometriosis tidak diketahui dengan pasti. Namun, beberapa ahli mengemukakan teori-teori, antara lain:

• Teori Reflux atau Retrograde Menstruation, di mana darah haid mengalir balik dan tumpah melalui Tuba Falopi ke dalam rongga perut.
• Ada juga teori sistem kekebalan tubuh yang memungkinkan jaringan endometrium bisa tumbuh di tempat selain rahim.
• Faktor genetik keluarga juga berperan.

Faktor risiko lain yang dikaitkan dengan endometriosis termasuk menstruasi pertama (menarche) yang terjadi lebih dini, terlambat memiliki anak, siklus menstruasi pendek dan perdarahan haid yang banyak, dan kelainan pada organ reproduksi, seperti vagina, leher rahim atau rahim yang tidak normal.

Dokter akan membuat diagnosis endometriosis dengan melakukan anamnesa, yaitu mengajukan pertanyaan mengenai gejala dan riwayat medis. Selanjutnya, dokter melakukan pemeriksaan fisik. Untuk memastikan diagnosis, dilakukan pencitraan medis dengan USG/USG Transvaginal, MRI, atau bila diperlukan, Laparoskopi diagnostik, serta tes laboratorium.

Pilihan perawatan untuk endometriosis dapat berupa medis atau bedah.

Perawatan Medis

Pengobatan medis biasanya bersifat jangka panjang dan bisa melalui obat-obatan, mulai dari Non-steroid Anti-Inflammatory Drugs/Painkiller (NSAID) hingga obat-obatan hormonal. Obat hormonal yang diberikan biasanya:

• Progestin/derivat Progesteron (dalam bentuk obat minum seperti Dienogest atau Norethisterone, suntikan
• IUD yang mengandung Progestin
• Obat Androgenik (Testosterone)
• Pil KB
• Gonadotropin Releasing Hormon (GnRH) Agonist.

Perawatan Bedah

Sementara, perawatan melalui bedah bisa dilakukan dengan Laparoscopic Surgery atau operasi terbuka (Open Surgery). Kadang, perlu dilakukan pengangkatan rahim (Hysterectomy).

Penting bagi penyakit ini untuk dapat dideteksi sedini mungkin. Endometriosis adalah penyakit yang bergantung pada hormon estrogen dan baru dapat betul-betul tuntas bila pengidap sudah menopause.