Buntut Tarif Trump, 2 Maskapai Penerbangan Terbesar di Dunia Ancam Tidak Akan Beli Pesawat Baru

2 days ago 18

Liputan6.com, Jakarta - Dua maskapai penerbangan terbesar di dunia, Ryanair dan Delta Air Lines, kompak menunda pembelian pesawat baru jika tarif Trump membuat harga pesawat jadi lebih mahal. Ini hanya salah satu dari sekian banyak dampak yang dilaporkan dari penetapan pajak impor oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump.

"Jika tarif diberlakukan pada pesawat, kemungkinan besar kami akan menunda pengiriman (untuk memperoleh pesawat baru)," kata CEO Ryanair, Michael O'Leary, pada Financial Times, seperti dikutip dari Business Insider, Rabu (16/4/2025). "Kami mungkin akan menundanya dan berharap pikiran logis akan menang."

Maskapai penerbangan murah Irlandia itu secara eksklusif menggunakan Boeing 737, yang jumlahnya sekitar 600 unit. O'Leary mengatakan pada FT bahwa Ryanair semula akan menerima 25 pesawat Boeing baru pada Agustus 2025. Tapi, menurut jadwal maskapai, mereka sebenarnya tidak perlu pesawat-pesawat ini hingga Maret atau April tahun depan.

Komentar O'Leary muncul kurang dari seminggu setelah CEO Delta Ed Bastian mengatakan hal yang sama tentang pengiriman pesawat baru dari pesaing Boeing, Airbus. Bastian mengatakan bahwa Delta tidak akan menerima kenaikan biaya untuk 34 jet Airbus baru yang diharapkan akan dikirimkan sebelum akhir tahun.

"Satu hal yang perlu Anda ketahui, kami sangat yakin bahwa kami tidak akan membayar tarif pengiriman pesawat," katanya pada para investor. "Kami akan menunda pengiriman apapun yang dikenakan tarif."

Minggu lalu, Uni Eropa menangguhkan tarif balasan sebesar 25 persen untuk barang-barang AS tertentu dengan harapan akan ada negosiasi. Namun, pesawat Boeing dan Airbus masih dapat menghadapi kenaikan harga karena sektor penerbangan memiliki rantai pasokan di seluruh dunia.

Instruksi China untuk Maskapai Penerbangannya

Seperlima dari bahan produksi Boeing diimpor, CEO Kelly Ortberg mengatakan dalam sidang Senat, awal bulan ini. Trump telah mengenakan tarif 10 persen untuk semua impor, selain dari China, yang menghadapi tarif lebih tinggi, dan 20 persen untuk baja dan aluminium, yang merupakan bahan utama pesawat.

Sebelumnya, China menginstruksikan maskapai penerbangannya menghentikan pengiriman pesanan pesawat dari Boeing, menurut laporan pada Selasa, 15 April 2025. Beijing menanggapi perang dagang Trump dengan marah, menyebutnya sebagai "penindasan yang tidak sah" oleh Washington.

Bloomberg News melaporkan, seperti dikutip dari AFP, selain menghentikan pengiriman pesawat Boeing, Beijing juga menginstruksikan maskapai penerbangannya menangguhkan pembelian peralatan dan suku cadang terkait pesawat dari perusahaan AS itu.

Tarif balasan Beijing terhadap impor AS kemungkinan akan memicu kenaikan signifikan dalam biaya pengadaan pesawat dan komponen. Bloomberg mengatakan, pemerintah China sedang mempertimbangkan membantu maskapai penerbangan yang menyewa pesawat Boeing dan menghadapi biaya lebih tinggi.

Kondisi Boeing Kian Rapuh

Di sisi lain, perang dagang antara AS dan China bisa membuat kondisi Boeing yang sudah rapuh kian berdarah. Berdasarkan laporan BBC, dikutip Kamis, 30 Januari 2025, perusahaan aviasi itu merugi hampir satu miliar dolar AS, atau sekitar Rp16,21 triliun (asumsi kurs dolar AS terhadap rupiah Rp16.210), per bulan pada 2024.

Dengan begitu, Boeing merugi 11,8 miliar dolar AS atau sekitar Rp191,16 triliun sepanjang tahun, jadi hasil terburuk sejak industri penerbangan tidak bisa bergerak karena pandemi COVID-19 pada 2020. Kerugian tersebut juga terjadi seiring Boeing bergulat dengan krisis keselamatan, masalah kontrol kualitas, dan aksi mogok pekerja.

Dalam tiga bulan hingga akhir Desember 2024, saat pemogokan memengaruhi bisnis, Boeing rugi 3,8 miliar dolar AS atau Rp61,6 triliun. Selain menderita masalah di unit pesawat komersial, perusahaan itu juga berjuang dengan masalah yang memengaruhi sejumlah program pertahanan.

Chief Executive Boeing, Kelly Ortberg, menuturkan, perusahaan fokus pada apa yang disebutnya “perubahan mendasar” yang diperlukan. Ini dilakukan demi memulihkan keuntungan dan kepercayaan.

Takut Liburan

Sementara itu, warga AS tengah menghadapi tantangan saat bepergian ke luar negeri. Di masa pemerintahan Trump yang kedua, rasa takut dan ketidaknyamanan jadi perasaan yang umum di kalangan mereka yang merencanakan perjalanan internasional.

Melansir CNN, Selasa, 8 April 2025, bagi Raj Gyawali, pendiri socialtours yang berbasis di Kathmandu, Nepal, fenomena ini jadi nyata ketika seorang klien Amerika membatalkan perjalanan yang telah terkonfirmasi karena merasa tidak aman untuk bepergian di bawah pemerintahan saat ini.

"Pemesanan yang sepenuhnya terkonfirmasi dibatalkan ketika orang tersebut merasa tidak aman untuk bepergian," ungkap Gyawali. Ia menyadari peningkatan kekhawatiran di antara klien Amerika lainnya yang merasakan hal serupa.

Fenomena ini tidak hanya memengaruhi warga Amerika yang ingin bepergian, tapi juga berdampak pada turis asing yang berkunjung ke AS. Data dari Tourism Economics menunjukkan bahwa kunjungan dari wisatawan internasional ke AS diperkirakan turun 5,1 persen, dengan pengeluaran yang menurun sebesar 11 persen.

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |