Liputan6.com, Jakarta - Penertiban Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) masih terus dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Deputi Bidang Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup (Gakkum KLH) Rizal Irawan mengatakan pihaknya akan melakukan proses hukum kepada pengelola TPA swasta ilegal.
"Untuk ke depan pastinya kita akan lakukan upaya-upaya lagi terutama untuk TPA-TPA swasta yang tanpa izin lingkungan itu juga ke depan akan menjadi sasaran kita," terang Deputi Gakkum KLH Rizal Irawan dalam konferensi pers perkembangan penegakan hukum lingkungan hidup di Jakarta, Rabu, 12 Maret 2025.
Menurut Rizal, KLH sudah memulai proses penegakan hukum terhadap sejumlah TPA baik yang dikelola oleh pemerintah daerah maupun yang dijalankan secara ilegal. Sejumlah kasus yang sudah berjalan proses hukumnya termasuk TPA Rawa Kucing di Tangerang, Banten yang ditargetkan pengiriman kembali berkas perkaranya dapat dilakukan pada April 2025.
Selain itu ada TPA Burangkeng, Bekasi, Jawa Barat yang dalam tahapan pemeriksaan tersangka berinisial SDS pada Rabu. Ada pula TPA Bakung di Bandar Lampung, Lampung, yang sudah disegel KLH pada Desember 2024 lalu yang kini sedang dalam proses pemeriksaan saksi dan penyusunan berkas perkara dan pengirimannya.
Pihaknya juga tengah memproses kasus TPA Sarbagita di Denpasar, Bali yang sedang diproses dalam tahapan permintaan klarifikasi dan mendengarkan keterangan dari ahli serta olah TKP dengan pakar mangrove.Untuk TPA ilegal, pihak Gakkum KLH sudah melakukan koordinasi dengan Kejaksaan Negeri Depok terkait proses hukum tersangka J yang mengelola TPA liar Limo, Depok, Jawa Barat dan memproses penetapan tersangka tambahan berinisial S.
Pihaknya juga tengah memproses hukum TPS Pasar Induk Caringin di Kota Bandung. Jawa Barat yang dalam tahapan klarifikasi, permintaan keterangan ahli dan olah TKP dengan ahli. Tim Gakkum KLH juga tengah memproses sanksi paksaan pemerintah terhadap 343 TPA yang dikelola oleh pemerintah daerah, termasuk tahapan awal menutup sistem open dumping atau pembuangan sampah secara terbuka di 37 TPA.
Penerimaan Penyelesaian Sengketa LH Mencapai Rp100 Miliar
"Ini yang 343 TPA kita kan baru selesai dalam jangka waktu 2 bulan, kita running betul. 343 kita kejar dulu karena itu yang dikelola oleh pemerintah daerah dan untuk swasta ini ke depan akan kita lakukan lagi," ucap Rizal.
Dalam kesempatan itu, KLH juga menyatakan enam perusahaan sudah membayarkan kerugian lingkungan sebesar Rp106 miliar dari berbagai kasus terkait penyelesaian sengketa lingkungan hidup dalam periode awal tahun ini. Rizal Irawan mengatakan, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari penyelesaian sengketa lingkungan hidup mencapai total Rp107,4 miliar sepanjang Januari sampai 11 Maret 2025.
"Dari kerugian lingkungan hidup Rp106.975.301.240 Ini dibayarkan enam perusahaan," kata Rizal. Dia menyebut bahwa pembayaran tersebut dilakukan lewat e-billing tidak melalui KLH dan langsung masuk ke kas negara.
Selain itu terdapat pula pembayaran kerugian masyarakat sebesar Rp460,9 juta yang langsung dibayarkan kepada tujuh kelompok masyarakat yang terdampak akibat kasus sengketa lingkungan hidup.
"Deputi Gakkum ini kita punya beberapa yang kita sebut multidoors jadi selain sanksi administrasi kita bisa juga masuk lewat sengketa perdata yang seperti ini, ada ganti kepada negara dan yang terakhir adalah melalui tindak pidana," ujarnya.
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup
Sementara itu, Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup KLH Dodi Kurniawan mengatakan pembayaran tersebut dilakukan setelah adanya keputusan pengadilan yang inkracht atau berkekuatan hukum tetap. Salah satu pembayaran kerugian lingkungan terbesar berasal dari sebuah perusahaan di Sumatera Selatan, sementara pembayaran kerugian masyarakat terjadi di wilayah Riau dan Banten.
"Penyelesaian sengketa lingkungan hidup itu akibat dari adanya kegiatan usaha yang menimbulkan pencemaran dan kerusakan, dalam perkara yang ditangani KLH itu telah menyelesaikan perkara lebih dari 13 perkara yang sudah inkracht," kata Dodi Kurniawan.
Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) resmi meneken surat paksaan menteri yang ditujukan pada bupati, wali kota, maupun gubernur yang berwenang mengelola 37 tempat pemrosesan akhir (TPA) untuk menghentikan praktik open dumping pada Senin, 10 Maret 2025. Sementara, tiga TPA lainnya akan didalami lebih lanjut untuk diproses pidana mengingat tingkat pencemaran lingkungan akibat praktik open dumping yang dilakukan begitu serius.
Total ada 343 TPA yang tercatat di KLH melakukan praktik open dumping. "Yang kita hentikan adalah praktik open dumping yang berdasarkan mandat Undang-Undang Nomor 18/2008 yang diminta dihentikan sebenarnya sejak 2013 lalu. Jadi, lebih dari 15 tahun, kita masih melakukan praktik ini," kata Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq dalam jumpa pers di Jakarta, Senin, 10 Maret 2025.
Tenggat Waktu untuk 37 TPA
Ke-37 TPA tersebut di antaranya adalah TPA Sempayang di Kabupaten Malinau; TPA Darupono Kendal; TPA Sumur Batu Kota Bekasi; TPA Galuga Kabupaten Bogor; TPA Molantadu Kabupaten Gorontalo Utara; TPA Bajaru Kabupaten Nias; dan TPA Sekadau di Sekadau. "Skema penghentian aktivitas open dumping itu memiliki dua hal. Pertama, kita hentikan aktivitas open dumping-nya. Kedua, kita hentikan dan tutup operasional TPA-nya," ujarnya.
Setelah surat itu diterima, sambung Hanif, pemerintah daerah yang mengontrol TPA wajib mempersiapkan langkah-langkah penghentian aktivitas open dumping. Pertama, memastikan setiap TPA memiliki dokumen persetujuan lingkungan yang sesuai dengan standar pengelolaan.
Hanif selanjutnya meminta pemda bersangkutan menyusun rencana rehabilitasi dari open dumping maupun penyusunan zona baru untuk sanitary landfill. Setelah itu selesai, praktik open dumping baru dihentikan. Kepada 37 TPA dimaksud, KLH memberi tenggat waktu sekitar enam bulan untuk menyiapkan peralihan ke sanitary landfill atau controlled landfill.
Sementara, TPA yang sudah overloaded dan menyebabkan pencemaran serius akan ditindak hukum. Sejauh ini, TPA Basirih dan TPA Burangkeng dipastikan ditutup permanen lantaran tidak lagi bisa menampung dan tidak memiliki dokumen persetujuan lingkungan. Berikutnya, KLH membidik tiga TPA lain yang dianggap fatal, meliputi TPA Rate Kabupaten Ende; TPA Aek Nabobar Kabupaten Tapanuli Tengah; dan TPA Degayu Kota Pekalongan.