Liputan6.com, Jakarta - Selamat Hari Kebaya Nasional 2025! Busana khas Nusantara dengan banyak ragam itu bukan sekadar pakaian, tetapi juga identitas dan simbol warga bangsa.
Bahkan, budaya kebaya telah melintas batas geografis. Buktinya adalah pengakuan sebagai salah satu Warisan Budaya Dunia Takbenda UNESCO pada 4 Desember 2024, dalam sidang ke-19 Session of the Intergovernmental Committee on Intangible Cultural Heritage (ICH) di Asuncion, Paraguay.
Negara pengajunya tak hanya Indonesia, tapi juga Singapura, Thailand, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Dengan demikian, menurut Indiah Marsaban, salah satu anggota Timnas Kebaya sekaligus dosen FIB Universitas Indonesia, klaim curi-mencuri budaya tak lagi berdasar karena antar-bangsa di Asia Tenggara ternyata saling berbagi budaya.
Tapi, tahukah Anda kriteria seseorang mengenakan kebaya menurut catatan dalam dossier alias dokumen pengajuan ke UNESCO? Indiah menyebutkan tiga poin utama.
"Karakteristik kebaya adalah bukaan depan, berlengan─bisa panjang, bisa pendek─dan dipadukan dengan wastra," katanya dalam acara Perayaan Hari Kebaya Nasional di Museum Mandiri, Jakarta, Kamis (24/7/2025).
Dengan begitu, mereka yang mengenakan kebaya tanpa wastra tidak bisa disebut berkebaya. "(Kebaya) memang baju atasan, tapi begitu dipadukan dengan kain atau wastra, itu the whole look, look keseluruhan. Itu berkebaya," sambungnya.
Kesepakatan dari 5 Negara yang Mengajukan
Menurut Indiah, penjabaran tentang karakteristik kebaya yang tercantum dalam dokumen tersebut sepenuhnya adalah kesepakatan bersama dari lima negara pengusul. Penyebutan kriteria tersebut merupakan permintaan UNESCO saat usulan diajukan.
Dengan definisi yang general, kebaya pun bisa lebih fleksibel dalam potongan model dan material yang dipakai. "Jadi, mau pakai renda, mau pakai bordir, kalau enggak sesuai kriteria, ya nggak bisa disebut kebaya. Nggak terlalu dipersoalkan panjangnya, tapi berlengan. Jangan yang ketekan gitu ya," sambung Indiah.
Wastra jadi penentu tampilan keseluruhan. Kain yang sudah dimodifikasi menjadi celana atau rok, kata Nita Trismaya, anggota Timnas Kebaya sekaligus dosen Seni Kriya dan Tekstil IKJ, tidak bisa dimasukkan sebagai wastra.
"Jadi bukan kain yang dijahit, tapi harus kain utuh. Kain yang dililit," imbuh dia.
Sayangnya, kata Nita, arsip tentang asal-mula kebaya di Nusantara tidak tersedia. "Di kitab-kita yang lama pun hanya disebut baju, tidak disebut dengan detail itu apa. Jadi, memang itu ironi ya. Artinya, dari sumber-sumber lama pun belum ditemukan," ujar Nita.
Ada Benang Merah yang Terlepas
Nita menerangkan bahwa mulanya, tradisi berbusana di Indonesia adalah berkain. Kain panjang dililitkan sedemikian rupa agar membalut tubuh bagian bawah. Seiring waktu, para perempuan di nusantara kemudian mulai mengenakan kemben.
Begitu Islam masuk, perubahan cara berbusana terjadi. Nita meyakini itulah asal-mula penggunaan atasan. Kehadiran Belanda makin memengaruhi masyarakat saat itu untuk terbiasa mengenakan baju atasan.
"Jadi ketika Islam masuk, kan itu (bagian atas tubuh) aurat ya, jadi ditutup. Ketika Belanda masuk pun, misalnya yang laki-laki kan dulu pakai basahan. Nah, Belanda tuh merasa tidak sopan ketika menghadap dengan telanjang dada. Kita bisa lihat beskap. Itu kan baru, pengaruh dari Eropa," tuturnya.
Meski demikian, hipotesis itu belum didukung arsip tertulis yang memadai. Penjelasan yang menyambungkan antara tradisi berkain dan tradisi memakai atasan itu belum ditemukan.
"Ini saya bilang ada semacam benang merah yang terlepas. Jadi, kita kan tradisinya kain ya, tiba-tiba jadi baju itu belum ada temuan sejarah yang merangkaikan bagaimana proses ketika dari kain ke baju," ucapnya.
Bolehkah Pakai Kebaya Tanpa Wastra?
Secara tradisi, berkebaya sudah ada pakemnya. Namun, kata Indiah, bukan berarti hal itu tidak memberi ruang untuk berkreasi, khususnya di kalangan anak muda. Mereka bisa mengenakan kebaya sebagai atasan dengan bawahan yang modern, seperti rok dan celana jeans.
"Kalau pada waktu adat atau acara tradisi, kita menghormati tradisi. Tapi kalau misalnya mau ke mal, ya udah, bebas berekspresi," kata dia.
Lagipula, UNESCO telah mewanti-wanti agar budaya berkebaya itu tidak dipaksakan. Pemakaiannya harus muncul secara natural dari masyarakat dengan kesadaran mandiri.
"Prinsipnya UNESCO adalah free prior informed consent. Artinya, harus berdasarkan persetujuan di awal, berdasarkan informasi di awal. Jadi gini dikasih tahu, 'eh kamu mau enggak pakai kebaya?' 'Oh iya', tapi enggak boleh dipaksakan," kata Indiah.
Bagaimanapun, kata dia, anak muda perlu mengenali tradisi. Itu pintu masuk agar lebih mengenal, kemudian menghargai dan menghormati warisan budaya leluhur.
"Seperti kimono, ketika ada festival budaya, itu pakem ya. Tapi ketika masuk ke Harajuku kan bebas. Mungkin seperti itu kira-kira," ucapnya.