Mengenal Sunan Bonang, Dakwah Lewat Nada dan Tembang Jawa

5 days ago 7

Liputan6.com, Jakarta - Sunan Bonang memiliki nama asli Raden Makdum Ibrahim, merupakan salah satu dari Wali Songo yang sangat terkenal dalam sejarah penyebaran Islam di tanah Jawa.

Ia adalah putra dari Sunan Ampel, salah satu pelopor dakwah Islam di Surabaya dan sekitarnya, serta cucu dari Maulana Malik Ibrahim alias Sunan Gresik. Raden Makdum Ibrahim lahir pada pertengahan abad ke-15, di lingkungan keluarga ulama yang sangat berpengaruh.

Sejak kecil, ia telah mendapatkan pendidikan agama Islam yang kuat, tidak hanya dari ayahnya sendiri, tetapi juga dari para ulama terkemuka yang ada di lingkungan pesantren Ampel Denta, Surabaya.

Selain memperdalam ilmu-ilmu agama seperti tafsir, hadis, fikih, dan tasawuf, Sunan Bonang juga dikenal sebagai seorang yang menaruh perhatian besar pada seni dan budaya lokal, terutama musik tradisional Jawa, yang pada akhirnya ia gunakan sebagai media dakwah yang sangat efektif.

Peran Sunan Bonang dalam penyebaran agama Islam tidak bisa dilepaskan dari keahliannya dalam bidang seni, khususnya musik dan sastra. Ia dikenal luas sebagai seorang musisi ulung yang mahir memainkan alat musik tradisional gamelan Jawa.

Bahkan, alat musik bonang, salah satu instrumen penting dalam gamelan, dipercaya mendapatkan namanya dari beliau. Kecintaan dan keahliannya dalam musik menjadikan dakwah Sunan Bonang sangat unik dan menyentuh, karena ia mampu menyisipkan nilai-nilai Islam ke dalam lagu-lagu atau tembang-tembang Jawa yang sudah akrab di telinga masyarakat.

Di masa itu, pendekatan dakwah yang kaku dan konfrontatif sulit diterima oleh masyarakat Jawa yang memiliki budaya dan tradisi yang kuat. Maka, pendekatan budaya yang dilakukan Sunan Bonang justru lebih diterima dan berdampak besar.

Ia menciptakan banyak tembang atau syair berbahasa Jawa yang berisi ajaran moral dan spiritual Islam, seperti tembang “Tombo Ati” yang hingga kini masih sangat populer dan digunakan dalam kegiatan keagamaan maupun pembelajaran akhlak di pesantren.

Tidak hanya sekadar menciptakan tembang dan memainkan alat musik, Sunan Bonang juga memainkan peran penting dalam proses islamisasi masyarakat pesisir utara Jawa, terutama daerah Tuban dan Lasem. Di sana, ia tidak hanya berdakwah secara lisan, tetapi juga mendirikan pusat-pusat pembelajaran Islam yang berbasis pesantren, meneruskan tradisi keilmuan dari ayahnya.

Nilai Islam

Dalam mendidik santri-santrinya, Sunan Bonang selalu menekankan pentingnya memahami nilai-nilai Islam secara utuh, tetapi juga bersikap adaptif terhadap budaya setempat. Ia bahkan menulis berbagai karya dalam bentuk suluk dan tembang yang tidak hanya mengajarkan tauhid dan akhlak, tetapi juga mengandung filsafat sufistik yang halus dan mendalam.

Hal ini menunjukkan bahwa Sunan Bonang bukan hanya seorang mubaligh atau guru agama, melainkan juga seorang intelektual yang memahami pentingnya membangun jembatan antara agama dan budaya.

Sunan Bonang juga dikenal sebagai pembimbing spiritual dari Sunan Kalijaga, salah satu wali yang paling populer dalam dakwah kultural di Jawa. Hubungan antara keduanya sangat penting dalam penyebaran Islam yang lebih luas di tanah Jawa.

Menurut berbagai sumber, pertemuan Sunan Bonang dengan Sunan Kalijaga, yang pada saat itu masih bernama Raden Said dan dikenal sebagai seorang perampok, menjadi titik balik dalam kehidupan spiritual Raden Said. Sunan Bonang tidak langsung memarahi atau menghukum Raden Said, melainkan justru memberinya pelajaran-pelajaran batiniah yang membuat Raden Said tertarik dan kemudian berubah menjadi seorang wali besar.

Inilah contoh nyata bagaimana pendekatan welas asih dan kebijaksanaan dalam berdakwah lebih mampu menyentuh hati manusia ketimbang sekadar paksaan atau kekerasan. Bagi Sunan Bonang, setiap manusia memiliki potensi hidayah, dan tugas seorang wali adalah membuka pintu itu dengan hikmah dan kelembutan.

Dalam bidang karya tulis, Sunan Bonang juga meninggalkan warisan intelektual yang berharga. Ia dikenal menulis Suluk Wujil, sebuah karya yang memuat percakapan filosofis antara seorang guru spiritual dan muridnya.

Karya ini mengandung berbagai ajaran sufistik yang disampaikan dalam bahasa yang puitis namun sarat makna. Selain itu, berbagai tembang ciptaannya seperti Kidung Rumeksa Ing Wengi atau Tombo Ati tak hanya mengandung nasihat-nasihat Islami, tetapi juga menjadi sarana untuk menyampaikan makna-makna kehidupan yang mendalam.

Ia meramu nilai-nilai Islam ke dalam bentuk kesenian lokal tanpa merusak keindahan tradisi Jawa itu sendiri, sebuah metode dakwah yang hingga kini tetap menjadi inspirasi bagi para pendakwah dan budayawan di Indonesia.

Sunan Bonang wafat sekitar tahun 1525 Masehi dan dimakamkan di kota Tuban, Jawa Timur. Makamnya kini menjadi salah satu situs ziarah yang ramai dikunjungi, baik oleh peziarah religius maupun oleh peneliti dan pecinta sejarah budaya Islam Nusantara.

Warisan yang ditinggalkan oleh Sunan Bonang bukan hanya terletak pada jejak dakwahnya secara fisik, tetapi juga dalam bentuk nilai-nilai toleransi, kreativitas, dan pendekatan kultural yang sangat relevan bagi masyarakat multikultural seperti Indonesia.

Ia mengajarkan bahwa Islam bukan agama yang asing, melainkan bisa tumbuh dan berkembang selaras dengan akar budaya lokal. Dengan perpaduan antara ajaran agama dan seni, Sunan Bonang membuktikan bahwa dakwah bukan hanya soal kata-kata, tetapi juga soal rasa dan estetika yang menyentuh jiwa.

Dengan demikian, Sunan Bonang adalah salah satu figur penting yang tidak hanya berjasa dalam penyebaran Islam, tetapi juga dalam membentuk wajah kebudayaan Islam Jawa yang khas. Melalui musik, tembang, dan filsafat sufistiknya, ia menorehkan jejak dakwah yang lembut namun dalam, halus tetapi menggugah, yang terus dikenang sepanjang zaman.

Keberhasilannya menunjukkan bahwa seni bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan agama, melainkan bisa menjadi sarana efektif untuk menyampaikan nilai-nilai spiritual kepada masyarakat yang beragam. Sunan Bonang telah membuktikan bahwa Islam bisa menyatu dengan budaya lokal tanpa kehilangan esensinya sebuah pelajaran penting yang tetap relevan hingga hari ini.

Penulis: Belvana Fasya Saad

Foto Pilihan

Seorang pemuda Muslim Indonesia melakukan aksi menghembuskan api saat parade yang menandai dimulainya tahun baru Islam di Surabaya, Jawa Timur pada Kamis 26 Juni 2025 malam. (Juni KRISWANTO/AFP)
Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |