JFW 2026, Tafsir Tenun Garut sampai Putussibau dalam Ruang Transisi LIMINAL

Liputan6.com, Jakarta - Cita Tenun Indonesia (CTI) menggandeng empat lini mode: The Rizkianto, Moral, Danny Satriadi, dan Wilsen Willim, untuk menghadirkan perayaan filosofis ke panggung Jakarta Fashiion Week (JFW) 2026. Presentasi mode pada Rabu, 29 Oktober 2025 ini didasari kesadaran bahwa setiap lembar tenun menyimpan lebih dari sekadar keterampilan tangan.

Rangkaiannya terangkum dalam "LIMINAL," yang dimaknai sebagai ruang transisi ketika wastra berpindah dari tradisi menuju mode. Tajuk ini merupakan sebuah ambang—keadaan sementara antara dua posisi. Sebuah zona yang cair dan ambigu, namun justru sangat subur untuk menciptakan makna baru, dan di ruang antara inilah CTI menempatkan diri.

Presentasi mode ini adalah bentuk eksplorasi tentang bagaimana tenun dapat dibaca ulang, diinterpretasikan, dan dihidupkan kembali. The Rizkianto membuka ruang "LIMINAL" dengan menafsir ulang tenun Garut, Jawa Barat.

Saat jumpa pers sebelum show, sang desainer mengatakan, "Ini merupakan debut show di Indonesia dan pertama kali pakai wastra Indonesia. Kami menggunakan kain (tenun) custom, one of a kind, yang belum pernah diproduksi di Garut."

Melalui koleksinya, The Rizkianto menyorot keserbagunaan tenun yang "tidak harus monoton dan sangat tradisional." Hasilnya berupa rangkaian gaun pesta, yang seluruhnya berwarna hitam dengan sentuhan tenun dalam pola polkadot, yang membuat saya sampai memastikan saya tidak salah masuk show.

Gaun-gaun ini didesain dalam berbagai siluet, mulai dari structure, mengalir di bagian rok, sampai bervolume, entah di bagian lengan maupun lapisan atasan. Rangkaiannya membuktikan bahwa pesona tenun tidak terbatas pada visual-visual konvensional.

"LIMINAL" berlanjut dengan karya label mode Moral yang mengeksplorasi tenun Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Direktur Kreatif Studio MORAL, Andandika Surasetja, bercerita bahwa menggarap wastra ini merupakan tantangan baru bagi pihaknya.

"Motif dan warna tenun Lombok sangat beragam, membuat kami fokus pada aspek visual, bagaimana kain-kain ini ditransfer ke bentuk baru, termasuk aksesori," ungkapnya.

Sambil merangkul erat pesona tenun wilayah tersebut, Moral tidak melupakan DNA lini mode mereka. Alhasil, audiens melihat penataan tenun dalam sentuhan edgy khas jenama fesyen tersebut.

Mereka menabrakkan wastra sarat tradisi dengan elemen-elemen modern, termasuk dalam hal material, seperti denim dan kulit. "Banyak yang merupakan buatan tangan dan kami perhatikan strukturnya," Andandika menambahkan.

Dalam prosesnya, ia mengaku menerapkan prinsip kehati-hatian. "Di tahap awal, saya takut menggunting (kain tenunnya), jadi saya buat sedemikian rupa sampai kalau diurai lagi, ada look yang membuat kainnya utuh lagi."

Berlanjut, Danny Satriadi memasuki "LIMINAL" dengan menghadirkan interpretasi ulang tenun songket Sambas dari Kalimantan Barat. Visualnya merupakan interpretasi 12 shio zodiak China, membuatnya jelas bernuansa oriental.

"Kain-kain tenun ini menggunakan pewarna alam, warnanya lebih muted. Dari segi craftsmanship, kain-kain ini bagus," ungkapnya. Itu kemudian diterjemahkannya dalam draping yang dikombinasikan dengan sentuhan bordir khas Danny Satriadi.

Sebagai penutup, Wilsen Willim menafsirkan tenun Putussibau khas suku Iban, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. "Dengan pewarnaan alami, kain-kain ini luxury, tapi raw," katanya di kesempatan yang sama.

Menyelaraskan dengan nuansa tersebut, sang desainer mengaku mengandalkan teknik rustic melalui permainan benang. Ia berbagi, "Karena aku diberangkatkan ke sana, koneksi dengan kain tenunnya semakin kuat. Setiap hal yang aku lihat di sana, termasuk baju adatnya, jadi inspirasi."