Gubernur NTT Sebut Aksi Pemalakan di Desa Adat Ratenggaro Bisa Rusak Citra Pariwisata

1 week ago 29

Liputan6.com, Jakarta - Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Melkianus Laka Lena menilai peristiwa pemalakan yang diduga dilakukan oleh warga lokal kepada wisatawan di kawasan Desa Adat Ratenggaro di Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD) merusak pariwisata di provinsi berbasis kepulauan itu.

"Kejadian kemarin di Ratenggaro itu merusak pariwisata NTT dan harus segera dibenahi," katanya, di Kupang, Selasa pagi (20/5/2025), dikutip dari Antara. Hal ini disampaikannya berkaitan dengan viralnya video yang menampilkan Youtuber sekaligus influencer Jajago Keliling Indonesia saat berwisata ke desa wisata Ratenggaro yang kemudian dimintai uang masuk dengan nominal yang sangat tinggi.

Gubernur NTT mengatakan bahwa pihaknya sudah berbicara dengan pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya terkait peristiwa tersebut dan dia berharap agar kejadian tersebut menjadi yang terakhir kali di NTT. "Kami harapkan ini menjadi yang terakhir kalinya, karena merusak nama pariwisata di NTT khususnya di Sumba," ujar Melki.

Dia juga sudah meminta Kadis Pariwisata NTT Noldi Pellokila untuk berkoordinasi dengan Dispar SBD serta Dispar di Kabupaten lain yang memiliki potensi sama seperti yang terjadi di Ratenggaro.

Bayaran Tidak Sesuai Kesepakatan

Gubernur NTT juga mengatakan bahwa pariwisata di desa wisata adat Ratenggaro adalah wisata berbasis komunitas, jadi mestinya musyawarah mufakat dengan masyarakat setempat untuk bagi hasil harus jelas. "Selain itu tata kelolah musti jelas, dan juga dicari permasalahan kayak yang terjadi di SBD itu," terangnya.

Desa Adat Ratenggaro di Kecamatan Kodi Bangedo, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT viral setelah unggahan Youtuber John dan Riana atau Jajago Keliling Indonesia pada Sabtu, 17 Mei 2025.

Unggahan itu berupa video John dan Riana, pasangan yang keliling Indonesia dengan campervan, saat berjalan-jalan di desa adat itu. Keduanya melakukan beberapa aktivitas wisata, seperti naik kuda, berfoto dan menerbangkan drone.

Namun beberapa anak tampak mengikuti mereka dan meminta bayaran yang menurut John tidak sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. "Sumpah, aku nggak bakal ke tempat wisata ini lagi," ucap John dengan kesal dalam video tersebut.

Tarif Sukarela untuk Parkir dan Tiket

"Sewa kuda awalnya sudah deal Rp50 rb, tapi ditagih 75rb. Jasa foto awalnya deal Rp10 rb dimintain Rp25 rb. Jadi pas bayar, malah dimintain lebih.," tulisnya. Dalam video juga terlihat ada orang dewasa menjelaskan tarif sukarela sebagai kompensasi untuk parkir dan tiket masuk karena tidak ada loket di desa itu.

"Ada yg meminta uang dengan dalih untuk membeli buku, bahkan ada orang dewasa juga ikut, minta uang rokok,'" tulis John dan Riana dalam keterangan video yang dibagikan ulang di Youtube Short dan akun Instagram @jajago.keliling.indonesia pada Minggu, 18 Mei 2025.

John mengatakan bukan soal nominalnya, ia lebih menyoroti tindakan mereka yang menyetop kendaraan lewat, ditambah lag dengan beberapa anak yang sepertinya diajari untuk melakukan tindakan serupa.

"Intinya, Sumba itu begitu indah. 100% orang yg kami temui selama disini itu sangat ramah, & baik, sama halnya sepanjang perjalanan kami di NTT begitu banyak kebaikan & keramahan. Namun, oknum² ini benar² mencoreng citra dari NTT. Kami hanya berharap agar kejadian ini mendapat atensi dari pemerintah daerah," tambahnya.

Rumah Panggung di Desa Adat Ratenggaro

Menurut John dan Riana, kejadian itu dialaminya pada 12 Mei 2025 sekitar pukul 14:20 WITA di lalur poros dari Ratenggaro menuju kota Tambolak atau (sekitar 15 menit dari Ratenggaro. Tim Lifestyle Liputan6.com sudah berusaha menghubungi keduanya, Selasa (20/5/2025), tapi sampai berita ini ditulis belum ada tanggapan dari keduanya tentang komentar dari Gubernur NTT dan apakah mereka benar-benar tidak akan kembali lagi ke daerah tersebut.

Desa Adat Ratenggaro identik dengan rumah ada yang bentuknya seperti rumah panggung dengan atap yang menjulang tinggi. Atap tersebut ternyata mempunyai makna yang sesuai dengan kepercayaan masyarakat setempat yaitu Marrapu.

Melansir kanal Regional Liputan6.com, Selasa (20/5/2025), Marrapu adalah kepercayaan dengan kegiatan pemujaan terhadap para leluhur yang masih dipegang teguh. Kemudian menara atap yang tinggi melambangkan status sosial dan bentuk penghormatan terhadap arwah para leluhur. Desa adat ini buka setiap hari selama 24 jam bagi yang berkunjung ke desa tersebut.

Foto Pilihan

Pengunjung membaca salah satu koleksi buku di Perpustakaan Jakarta dan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin di Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Sabtu (17/5/2025). (Liputan6.com/Herman Zakharia)
Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |