Liputan6.com, Jakarta - Festival Teluk Wondama kembali hadir tahun ini, bertepatan dengan peringatan 1 abad peradaban Papua. Acara puncak dijadwalkan pada 25 Oktober 2025 di Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat.
Perayaan ini bukan sekadar festival budaya, melainkan bentuk penghormatan terhadap sejarah panjang pendidikan yang dimulai sejak masuknya Injil ke Papua pada 1855. Pada festival yang digelar sejak 2018 itu nanti, warga Wondama ingin menunjukkan siapa mereka dan bagaimana mereka ingin dilihat.
"100 tahun Peradaban Orang Papua menjadi momentum menuju masa depan yang lebih baik dan kisah sukses orang-orang Papua," ucap Bupati Kabupaten Teluk Wandoma, Elysa Auri, di Sarinah, Jakarta Pusat, Rabu, 23 Juli 2025.
Jakarta dipilih sebagai tempat peluncuran lantaran karena merupakan tempat berkumpulnya pusat bisnis, investasi, dan pengambil kebijakan.
"Saya berharap melalui perayaan ini, dapat membuka jalan agar Wondama lebih dikenal. Tak hanya lewat budaya, tapi juga potensi wisata yang selama ini belum banyak diekspose," katanya.
Pihaknya terus mematangkan persiapan untuk menyambut wisatawan, termasuk dengan menyiapkan beragam akomodasi, mulai dari hotel, homestay, hingga hotel terapung, bersama warga. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Teluk Wondama, Christian Mmambor menargetkan 20 ribu wisatawan datang ke festival tersebut.
Perayaan 1 Abad di Bukit Aitumeiri
Elysa mengatakan bahwa bagi masyarakat Teluk Wondama, perayaan satu abad ini bukan acara seremonial biasa. Ini adalah momen penting yang menandai awal mula hadirnya peradaban di tanah Papua.
25 Oktober 1925 menjadi titik balik ketika penginjil pertama, Pendeta Izaak Samuel Kijne, masuk ke Wondama. Dari situ, pendidikan mulai diperkenalkan.
Ia membangun sekolah zending pertama di Bukit Aitumieri, Teluk Wondama. Di tempat itulah, ia meninggalkan pesan yang berbunyi, "Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua." Pernyataan ini menjadi simbol lahirnya pusat peradaban orang Papua, karena dari sinilah pendidikan baca tulis mulai menyebar ke seluruh Tanah Papua.
Kini, tempat itu menjadi salah satu objek wisata andalan Kabupaten Teluk Wondama. Di luar sejarah, ada lagi potensi pariwisata lainnya, dari alam hingga budaya.
"Untuk wisata alam lebih banyak marine, mengeksplorasi keindahan bawah laut dengan aktivitas snorkeling dan diving. Wisata religi biasanya dilakukan oleh wisatawan lokal dengan melakukan kunjungan ke batu peradaban untuk berdoa," ujarnya kepada Lifestyle Liputan6.com.
Wondama Ingin Dikenal, Bukan Lagi Dilupakan
Bupati Elysa mengungkapkan pembeda festivalnya dengan perayaan dari wilayah Papua lainnya adalah rasa ingin didengar. Wondama selama ini merasa dilupakan sehingga lewat festival itu, pihaknya bisa memanfaatkannya sebagai momentum untuk membawa Wondama ke peta nasional.
Lewat festival ini, warga ingin memperkenalkan wajah Wondama yang sebenarnya. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, kali ini festival tidak hanya soal hiburan atau budaya, tapi juga membawa pesan kuat tentang sejarah, pendidikan, dan identitas lokal. Event itu sekaligus untuk membuktikan bahwa Wondama layak jadi tujuan wisata utama di Papua Barat.
"Masyarakat setempat sudah membuka diri. Pemerintah juga mulai aktif mendorong promosi wisata dan budaya daerah. Mereka sadar, untuk dikenal, Wondama harus bersuara," kata Elysa.
Pendeta Rosalie Wamafma menambahkan, "Tujuan utama dari semua rangkaian acara ini digelar setiap tahun adalah agar Teluk Wondama bisa ditetapkan sebagai cagar budaya nasional." Hal itu diyakini bisa menjadi pijakan awal untuk pengakuan yang lebih besar bagi Papua Barat, terutama dalam konteks sejarah peradaban dan kontribusi terhadap pembangunan bangsa.
Akses ke Wondama Jadi Tantangan
Meski begitu, Kadis Pariwisata mengakui mengundang wisatawan ke Wondama adalah tantangan tersendiri. Ia menyebut, wilayahnya belum seberuntung Raja Ampat yang mobilitasnya sudah lebih mudah.
Jalur udara terbatas. Dari Nabire, butuh sekitar 14 menit naik pesawat kecil. Dari Manokwari, sekitar 45 menit. Jika lewat darat atau laut, waktu tempuh bisa mencapai 12 sampai 15 jam. Bandara yang ada pun belum bisa menampung penumpang dalam jumlah besar.
"Ini menjadi kelemahan utama selama beberapa tahun terakhir," ujarnya.
Untuk transportasi lokal di dalam kota, belum ada layanan ojek online. Solusinya, wisatawan bisa menggunakan ojek konvensional yang tersedia dengan memesannya langsung melalui basecamp atau pangkalan ojek yang tersebar di sejumlah titik di Wondama.
Sekretaris Daerah Kabupaten Teluk Wondama, Aser Waroi, berharap kondisi ini bisa berubah. "Ketika kondisi ekonomi sudah jauh lebih stabil, kami berharap bisa mendapatkan pendanaan yang lebih maksimal untuk menyelenggarakan agenda promosi budaya dan pariwisata yang lebih besar lagi di tahun-tahun mendatang," ujarnya.