Tak Hanya Produk Berkualitas, Brand Lokal Makin Dituntut Aspek Keberlanjutan Lingkungan pada 2025

2 days ago 7

Liputan6.com, Jakarta - Kesadaran akan pentingnya keberlanjutan lingkungan makin meningkat di antara konsumen Indonesia. Hal itu berdampak pada tuntutan tentang bagaimana produsen, termasuk brand lokal, semestinya beroperasi. Mereka yang hanya mengejar cuan dengan mengabaikan tanggung jawab pada lingkungan makin lama makin ditinggalkan.

"Inisiatif produk yang sustainable dan berdampak secara socio-environment akan jadi sorotan pada 2025. Konsumen sudah tidak lagi hanya akan fokus ke kualitas produk, namun juga yang memiliki nilai, terutama yang sesuai gaya hidup mereka," kata Achmad Alkatiri, CEO Hypefast, perusahaan yang mengelola sejumlah brand lokal, dalam rilis yang diterima Lifestyle Liputan6.com, beberapa waktu lalu.

Ia memprediksi bahwa pada 2025, regulasi keberlanjutan di negara-negara ekonomi besar dunia akan semakin diperketat, yang mendorong percepatan agenda lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) di perusahaan-perusahaan. Analisisnya sejalan dengan data Kantar's Creator Digest, perusaha data dan analitik pemasaran terkemuka di dunia, yang menyebut bahwa 93 persen konsumen ingin menjalani gaya hidup yang lebih berkelanjutan.

Temuan itu didukung naiknya popularitas tren You Only Need One (YONO), menggantikan YOLO alias You Only Live Once, di kalangan Gen Z. Melansir dari sejumlah sumber, tren YONO mengajak orang-orang untuk menjalani hidup dengan berpikir lebih kritis dan bijak, terutama dalam membeli sesuatu, yang didorong faktor ekonomi dan kesadaran terhadap lingkungan.

Prinsipnya adalah lebih baik memiliki satu barang saja dan tidak berlebihan dibandingkan membeli karena populer. Hal itu agar pelakunya dapat mencapai stabilitas keuangan dan mengurangi stres akibat finansial.

Transparansi Jadi Kunci

Menyadari hal itu, Achmad menyarankan agar perusahaan semakin transparan dalam mengomunikasikan rantai pasoknya. Wujud keberlanjutan juga dilihat lewat penggunaan kemasan yang lebih ramah lingkungan dan tindakan konkret brand lainnya terhadap tujuan keberlanjutan.

Perihal komunikasi dengan calon konsumen juga tak bisa dianggap sepele. Mengutip studi Kantar, efektivitas konten iklan menurun signifikan, hingga 11 persen pada 2024. Achmad menilai tren penurunan itu akan berlanjut pada tahun ini yang akan membawa tingkat urgensi yang jauh lebih besar bagi brand dan pemilik bisnis untuk mulai mengevaluasi identitas dan komunikasi brand mereka sendiri dan memikirkan ulang cara berinteraksi dengan basis pelanggan.

"Tingkat popularitas selebritas semata tak lagi dianggap cukup untuk mewakili brand. Kini kita bisa melihat kecenderungan brand yang lebih memilih tokoh lokal, seperti podcaster, penulis, dan ahli di sebuah bidang yang sesuai. Hal ini didukung dengan data Kantar’s Creator Digest yang mengungkapkan bahwa konten yang dibuat oleh kreator lokal di AS dengan suara autentik mampu memperkuat nilai diferensiasi brand sebesar 4,85 persen," ucap Mad.

Begitu pula pendekatan marketing yang menempatkan founder atau CEO dalam agenda brand atau perusahaan. Hal ini diyakini Mad dapat membangun kepercayaan dan hubungan yang nyata dengan konsumen.

Toko Offline Semakin Dibutuhkan

Dari sisi distribusi penjualan, Mad meyakini bahwa ada perubahan strategi signifikan. Walau e-commerce tetap mendominasi, kehadiran toko offline diprediksi menjadi pusat pengalaman brand yang mengutamakan koneksi emosional, membangun kepercayaan, dan menceritakan kisah brand pada 2025.

Melalui berbagai format toko, strategi ini akan menghadirkan pengalaman interaktif, demo produk, dan ruang untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan pelanggan. "Selain itu, kita akan melihat tren toko offline yang dimanfaatkan menjadi tempat komunitas dan gaya hidup, tempat pelanggan berkumpul dan berinteraksi, meningkatkan loyalitas dan menjadikannya bagian dari lifestyle mereka," sahutnya.

Fenomena showrooming juga akan semakin berkembang, dengan toko offline sebagai galeri produk unggulan atau peluncuran baru, sementara pembelian dilakukan secara online. Kehadiran toko fisik itu bisa berwujud permanen atau juga sementara yang disebut pula pop-up store. Fungsi keduanya jelas berbeda.

Brand dapat menggunakan pop-up store untuk menguji pasar dan berinteraksi langsung dengan pelanggan. Dengan format ini, brand dapat memberikan fleksibilitas kehadiran offline mereka sambil tetap menjaga interaksi dengan pelanggan.

Mengedepankan Empati

"Kami percaya bahwa segala bentuk strategi yang berbasis empati adalah kunci untuk membangun hubungan yang lebih dalam dengan konsumen. Di Hypefast, kami berkomitmen untuk mendukung brand lokal dalam menghadapi tantangan dan peluang baru di tahun 2025," ujar Mad.

Dengan mengintegrasikan teknologi dan koneksi manusiawi, memanfaatkan tren pemasaran berbasis empati, serta mengadaptasi kehadiran offline untuk pengalaman yang lebih bermakna, brand lokal dapat menciptakan loyalitas yang mendalam dan pertumbuhan berkelanjutan pada 2025.

Kenaikan tren omnichannel sebagai alternatif belanja yang mengawinkan pembelian online dan offline sudah diprediksi sejak pandemi pulih. Direktur NielsenIQ (NIQ) Rusdy Sumantri menjelaskan bahwa harga lebih murah dan opsi pembayaran yang mudah masih jadi dua alasan utama konsumen belanja online. Sementara itu, transaksi daring masih terkendala dengan kekhawatiran menerima produk yang berbeda dari yang diiklankan.

"Tahun lalu, pelanggan juga mengkhawatirkan pada keaslian produk, harga mahal, dan kualitas produk yang rendah saat belanja online," ia menjabarkan saat acara "Navigating the Omni Future: Building Future-ready Ecosystem" inisiasi Blibli di bilangan Jakarta Pusat, Selasa, 2 Juli 2024. Omnichannel dianggap bisa menjawab kebutuhan para konsumen tersebut.

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |