Liputan6.com, Jakarta - Memberi makan anak, terutama dalam periode pemberian makanan pendamping ASI (MPASI), adalah tugas yang susah-susah gampang. Tidak jarang anak menolak makan karena banyak faktor yang membuat orangtua kelimpungan. Orangtua pun seringkali mengecap anak mereka sebagai picky eater.
Tapi, apakah tepat disebut demikian? dr. Miza Dito Afrizal, Sp.A, dari Klinik Tumbuh Kembang mengatakan seseorang tidak sembarang melabeli anak sebagai individu yang suka pilih-pilih makanan. Ada tahapan-tahapan yang harus dilalui sebelum dipastikan bahwa anak tersebut memang tidak menyukai jenis makanan tertentu.
"Picky eater adalah anak yang hanya mau (makan) kurang dari 10 jenis makanan," katanya saat menjadi narasumber dalam talkshow Pesta Explorasa Promina di Bandung, beberapa waktu lalu.
Sebelum itu terjadi, orangtua harus memperkenalkan beragam jenis makanan dengan beragam rasa, warna, dan tekstur, sebelum seorang anak bisa memilih makanan favorit mereka. Rata-rata, sambung dia, orangtua perlu mengenalkan sebuah makanan baru 15--20 kali kepada anak.
"Tentunya bukan hari ini, makan siang, sore, malam. Gumoh dia. Tapi, pagi makan ikan, lusa mungkin kasih ikan lagi," jelasnya.
Ada bahaya ketika orangtua melabeli anak sebagai picky eater, yakni menyetop anak mencoba makanan yang tidak disukainya sejak awal. Padahal, belum tentu anak tidak suka, tetapi karena sekadar belum kenalan dengan makanan tersebut atau diperkenalkan dengan cara yang tidak tepat.
"Kenapa ada anak picky eater, dari sisi anak, tidak diberikan keleluasaan yang dia mau dan tidak mau," sahutnya.
Fungsi Pemberian MPASI
dr. Miza menyatakan bahwa tujuan pemberian MPASI, terutama bagi anak di bawah usia 1 tahun, adalah bukan untuk memasukkan makanan ke mulut, tetapi untuk memperkenalkan apa saja yang harus dilakukan agar masuk ke perut. Barulah objektif kedua untuk membantu memenuhi nutrisi.
"MPASI mempersiapkan dia kalau ASI udah enggak ada," katanya.
Karena tujuan utamanya memperkenalkan, anak perlu diperkenalkan dengan cara yang benar. Jenisnya pun harus beragam, dari rasa, warna, dan tekstur, agar anak tahu semuanya sehingga tahu preferensi makanan yang disukainya.
"Misal, saya bilang seblak ini enak, belum tentu orang lain bilang hal yang sama. Maka, food preference itu adalah sesuatu yang sangat manusiawi. Sangat mustahil kalau ada yang nanya bagaimana agar anak suka semuanya. Yang tepat, beri anak kesempatan kenalan semua sehingga anak decide, saya suka makanan A, bukan makanan B," ia menerangkan.
Ia juga menyarankan ketika anak makan, tidak perlu didampingi mainan, tetapi jadikan makanan sebagai sarana untuk mengasah stimulasi motorik kasar dan motorik halusnya. "Saya lebih suka memberikannya dalam bentuk makanan, karena mainan hampir semuanya punya karakter mirip, kering, keras," imbuhnya.
Mengapa Makanan Tepat Jadi Sarana Menstimulasi Anak?
dr. Miza juga menjelaskan alasan anak biasa memasukkan makanan langsung ke mulut. Menurutnya, hal itu lantaran anak ingin mengenali tekstur benda yang dipegangnya. Beragam makanan bisa memberi ragam variasi sensasi tekstur pada anak.
"Yang teksturnya slimy bisa pepaya, markisa. Motorik kecil bisa diberi biskuit bayi yang kecil-kecil. Motorik halusnya diasah, terutama untuk menjumput," katanya.
"Mending dikasih biskuit kan dibandingkan kita kasih manik-manik. Tujuannya sama-sama mengenalkan dan belajar motorik halus, tapi kalau manik-manik, meleng sedikit, dia hap masuk mulut kan bahaya," sambungnya.
Tekstur sehalus pasir juga bisa diperkenalkan lewat biskuit bayi yang diblender. Begitu pula dengan lumpur, bisa diakali dengan menambahkan air pada makanan.
Di sisi lain, orangtua wajib memastikan MPASI atau makanan yang diberikan pada anaknya adalah yang aman, mulai dari bahan baku hingga cara membuatnya. MPASI terbaik jelas adalah buatan orangtua si anak sendiri yang biasanya lebih peduli dengan asupan anak. Kedua barulah bubur fortifikasi yang berlabel BPOM.
Jangan Paksa Anak Habiskan Makanan
Dalam kesempatan itu, dr. Miza juga mengingatkan para orangtua agar tak memaksa anak-anak balitanya untuk menghabiskan makanan yang disajikan. Ia menyatakan bahwa tugas orangtua adalah memberi makan anak, bukan mengejar kepuasan dari anak yang menghabiskan makanan.
"Kalau berpikir makan anak harus habis, itu cuma bom waktu sampai anak enggak mau makan atau masalah-masalah yang lain," katanya.
Ia menyadari bahwa berat badan anak jadi salah satu elemen yang diukur dalam kartu perkembangan, tapi semestinya bukan itu yang menjadi target utama orangtua. Pasalnya, banyak faktor yang menjadi ukuran perkembangan seorang anak. Dengan membebaskan orangtua dan anak dari beban target mengejar berat badan tertentu, anak bisa lebih eksploratif pada makanannya.
"Kalau anak enggak mau, udah nangis, udah enggak ada gunanya paksa dia. Biarkan saja dulu tapi harus kasih tahu apa konsekuensinya. Misal, kalau kamu enggak makan, kamu lapar dan kita enggak akan kasih apapun sampai waktu makan berikutnya," katanya.
"Tapi kalau kita nyari gantinya terus, dia akan lihat itu sebagai opsi," lanjutnya. Saat mengambil keputusan itu, dr. Miza meminta antar-orangtua dan orang lain di sekeliling anak saling bekerja sama agar objektif dari makan tadi tercapai.