Liputan6.com, Jakarta - Pungutan liar alias pungli di destinasi wisata telah jadi salah satu masalah menahun yang butuh solusi konkret dan berkelanjutan agar tidak berulang di masa mendatang. Mengapa praktik ini seperti sulit diberantas?
Ketua Umum Asosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia (ASPPI), Agus Pahlevi, mengatakan bahwa lemahnya regulasi dan kebijakan, yang akhirnya memengaruhi tingkat pengawasan, jadi salah satu penyebab pungli sayangnya masih terus eksis.
"Di satu sisi, pungli menyebabkan ketidaknyamanan para wisatawan, tapi di sisi lain, ketika kita tidak bayar pungli, keamanan kita terancam terhadap oknum-oknum yang melakukan penguli," kata dia melalui pesan suara pada Lifestyle Liputan6.com, Jumat, 17 Januari 2024.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Perjalanan Indonesia (ASITA), Nunung Rusmiati, menyebut pungli sebagai "tantangan yang kompleks." "Karena (pungli) melibatkan budaya birokrasi yang belum sepenuhnya transparan, kurangnya pengawasan, dan lemahnya penegakan hukum," sebut dia melalui pesan, Jumat.
Nunung menyambung, "Selain itu, ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari celah regulasi atau ketidaktahuan wisatawan, sehingga praktik ini terus berlanjut. Tanpa sinergi antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat, upaya pemberantasannya sulit membuahkan hasil signifikan."
Kepala Biro Komunikasi Kementerian Pariwisata (Kabirkom Kemenpar), Indri Wahyu Susanti, menuturkan, pungli maupun praktik "getok harga" dilakukan individu, kelompok orang, serta organisasi masyarakat (ormas) di destinasi wisata yang belum mempunyai sistem pengawasan ketat, sehingga relatif sulit untuk diatasi.
Mengapa Pungli Muncul?
Indri mengatakan, pungli umumnya terjadi di musim liburan. "Saat itu," ujar dia melalui keterangan, Jumat. "Pengunjung yang datang ke destinasi wisata melampaui daya dukung, termasuk dari sisi jumlah petugas keamanan yang kurang memadai, sehingga membuka peluang bagi 'oknum' untuk menjual jasa pada pengunjung."
Munculnya kesempatan dan kurangnya pengawasan diamini Nunung sebagai penyebab munculnya pungli. Di beberapa destinasi wisata, menurut dia, regulasi yang lemah, minimnya edukasi pada masyarakat setempat, dan ketidakteraturan sistem jadi penyebab utama pungli.
"Selain itu, ketergantungan masyarakat pada sektor wisata sebagai sumber penghasilan juga mendorong mereka mencari cara tambahan yang tidak sah untuk mendapatkan uang dari wisatawan," tuturnya.
Mengatasinya, sebut Agus, bisa dilakukan dengan menetapkan SOP pengelolaan atraksi wisata, selain harus ada pula kebijakan terkait pungutan resmi di sebuah destinasi. Penetapan pungutan resmi, sebut dia, semestinya berdasarkan prinsip pendapatan yang akan menyejahterakan maupun memajukan sebuah destinasi wisata.
Melanjutkan, Nunung berkata, ASITA menyarankan pendekatan lebih menyeluruh untuk memberantas pungli, termasuk dengan mengedukasi masyarakat lokal dan pelaku wisata mengenai dampak buruk pungli terhadap reputasi destinasi. "Selain itu, pemerintah harus memperkuat pengawasan dengan teknologi digital, seperti e-ticketing dan sistem pembayaran nontunai yang transparan," ungkapnya.
Mengatasi Pungli di Destinasi Wisata
Tidak ketinggalan, Nunung menggarisbawahi, perlunya keberanian dalam penegakan hukum, termasuk sanksi tegas bagi pelaku pungli. "Kolaborasi antara pemerintah, asosiasi seperti ASITA, dan komunitas lokal sangat penting untuk mengatasi masalah ini," sebutnya.
Di sisi lain, Kemenpar mengaku melakukan beberapa langkah untuk mengatasi pungli. Pertama, Indri menyebut, mereka melakukan sosialisasi dan koordinasi dengan aparat keamanan setempat dalam mengantisipasi pungli di destinasi wisata.
"(Kemenpar) mengimbau pengelola destinasi memberdayakan UMKM lokal dan memastikan tidak melakukan getok harga makanan minuman pada pengunjung," sambung dia. "Kemenpar juga bekerja sama dengan Pemerintah Daerah melalui Dinas Pariwisata dan pengelola destinasi wisata dalam mengidentifikasi sejumlah problem di destinasi wisata."
Dari situ, ia mengklaim, mereka menetapkan pengaturan pengunjung, penambahan personil pengamanan yang bekerja sama dengan Polda maupun Polres setempat, serta pengaturan parkir yang bekerja sama dengan Dinas Perhubungan setempat.
"Kemenpar pun mendorong Pemda melalui Dinas Pariwisata dan pengelola destinasi wisata agar menyediakan call centre pariwisata. Penting pula untuk menyampaikan informasi secara up to date pada wisatawan melalui media sosial, serta mengaktifkan jaringan komunikasi dan koordinasi dengan instansi maupun aparatur terkait."
Bagaimana Sebaiknya Merespons Pungli?
Kemenpar juga mendorong digitalisasi tiket masuk dan tiket parkir, selain meminta pelaku UMKM memasang daftar harga makanan dan minuman yang jelas. "Kami mendorong pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas Pariwisata, memproses pelaku pungli secara hukum dan memberi efek jera pada pelaku," kata dia.
Demi bisa mengidentifikasi pungli, pelancong sebaiknya mencari informasi mengenai tarif resmi di destinasi yang akan dikunjungi. Namun bila ternyata masih dihadapkan dengan pungli, apa yang sebaiknya dilakukan wisatawan?
Menurut Agus, ini merupakan kondisi dilema, karena penarik pungli acap kali mengancam tidak hanya kenyamanan, namun juga keselamatan pengunjung. Sementara itu, Nunung merekomendasikan untuk menghindari konfrontasi langsung saat dihadapkan dengan pungli.
"Jika memungkinkan," kata dia. "Dokumentasikan kejadian tersebut, seperti mencatat nama pelaku atau mengambil foto. Lalu, laporkan kejadian ini ke pihak berwenang atau dinas pariwisata setempat. ASITA juga siap menerima laporan dari anggota atau wisatawan terkait kasus pungli untuk diteruskan ke pihak berwenang."
Jika Pungli Berhasil Diberantas
Jika pungli berhasil diberantas, kata Nunung, reputasi destinasi wisata Indonesia akan meningkat secara signifikan. Hal ini akan meningkatkan kepercayaan wisatawan, baik domestik maupun internasional.
"Selain itu, pendapatan asli daerah dari sektor wisata dapat lebih optimal karena aliran dana yang masuk tercatat dengan jelas. Dalam jangka panjang, pemberantasan pungli akan mendorong pertumbuhan pariwisata yang berkelanjutan dan memberi manfaat lebih merata pada masyarakat lokal," tuturnya.
Itu diaminkan Agus. "Kalau dibiarkan terus-menerus, lama-lama akan jadi kronis dan akhirnya berdampak negatif terhadap citra sebuah destinasi secara khusus maupun pariwisata Indonesia secara umum," kata dia.
Indri menyambung, pengalaman wisata yang menyenangkan, dalam hal ini bebas pungli, akan mendorong wisatawan datang kembali. "(Mereka juga akan) menceritakan pada saudara, teman, dan handai tolan, sehingga jadi promosi yang efektif," menurut dia.
"Dalam waktu tidak terlalu lama, destinasi wisata yang menjaga kualitas dan ramah lingkungan akan banyak dikunjungi wisatawan dan berkelanjutan," tandasnya. Jadi, apakah kita siap menyambut era pariwisata bebas pungli?