Liputan6.com, Jakarta - Warga Pulau Pari meminta pembangunan dermaga dan resor yang merusak lingkungan di Pulau Gugus Lempeng, Kelurahan Pulau Pari, Kepulauan Seribu Selatan, dihentikan. Mereka mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk segera mencabut Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang diterbitkan untuk pembangunan fasilitas pariwisata di gugusan Pulau Pari.
Warga menilai proyek ini berpotensi merusak ekosistem laut, seperti terumbu karang, mangrove, serta mengancam ruang hidup masyarakat nelayan setempat. Kabar itu beredar luas di media sosial, termasuk di akun Instagram @lbh_jakarta, 20 Januari 2025.
Pada 12 Januari 2024, KKP memberikan persetujuan KKPRL kepada PT. CPS untuk pembangunan cottage apung dan dermaga wisata. Warga baru mengetahui KKPRL tersebut pada 6 September, 2024, ketika pihak perusahaan memberikan dokumen tersebut langsung ke warga.
Padahal mereka adalah orang-orang yang paling terdampak dari pembangunan ini. Warga telah mengirimkan Keberatan Administratif, namun tidak mendapatkan tanggapan KKP.
"Pada 17 Januari 2025, alat berat melakukan pengerukan pasir dan mencabut mangrove yang telah di tanam warga secara swadaya untuk menjaga dan melestarikan ekosistem dari abrasi," tulis unggahan tersebut.
Gugus Lempeng telah lama dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat sekitar mulai dari penanaman dan budidaya mangrove secara kolektif tanpa bantuan dari pemerintah, akan tetapi murni swadaya masyarakat secara kolektif sebagai bentuk pengelolaan dan penguasaan terhadap ruang hidupnya. Selain itu, aktivitas proyek itu juga dikhawatirkan bakal berdampak terhadap pembatasan atau larangan melaut bagi para nelayan ketika melintas di wilayah tersebut.
"Kami langsung tindak lanjuti aspirasi warga yang meminta pembangunan merusak alam dihentikan," kata Lurah Pulau Pari, Muhammad Adriansyah di Jakarta, Senin, dilansir dari Antara. Ia mengatakan, hingga saat ini tidak ada pengerjaan kembali dari proyek pembangunan dermaga tersebut.
Kerusakan Hutan Mangrove di Pulau Pari
Proyek pembangunan dermaga serta resort milik swasta di Pulau Gugus Lempeng yang berdekatan dengan Pulau Pari dan Pulau Biawak itu dikeluhkan warga karena menyebabkan kerusakan hutan bakau atau mangrove. "Pada 17 Januari kemarin memang ada alat besar ekskavator. Namun, hingga kini tidak ada pengerjaan kembali," terangnya.
Ia menjelaskan, warga resah karena pembangunan dermaga ini diduga tidak ada izin dan dilakukan secara diam-diam. "Terkait perizinan dan penghentian proyek itu menjadi kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI," katanya. Ia juga meminta warga agar tetap tenang dan menjaga suasana kondusif di Kelurahan Pulau Pari sambil menunggu tindak lanjut dari instansi berwenang.
"Tetap jaga kedamaian serta menyerahkan masalah ini ke pihak berwenang. Saya berharap pihak berwajib juga bisa turun tangan," ujarnya.
Kepala Suku Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian (KPKP) Kepulauan Seribu, Nurliati menambahkan, terkait Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) merupakan wewenang dari KKP RI. Proyek pembangunan ini masih terus dipantau. "Kita juga masih menunggu bukti izin pembangunannya," kata dia.
Mendukung Penyelamatan Pulau Pari
Seruan untuk mendukung penyelamatan Pulau Pari pun ramai beredar di media sosial. Salah satunya lewat akun Instgram @save.pulaupari, "Belum selesai urusan klaim tanah dengan PT. Bumi Pari Asri, kini warga Pulau Pari harus menghadapi ancaman baru dari PT. Central Pondok Sejahtera (CPS). Kali ini, ekosistem laut dan mangrove mereka menjadi korban demi proyek cottage apung dan dermaga wisata," tulis keterangan unggahan pada Selasa, 21 Januari 2025.
"Ini saatnya kita semua ikut bersuara. Jangan biarkan pemerintah dan korporasi terus mengabaikan kepentingan rakyat. Bagikan cerita ini sekarang supaya makin banyak yang tahu dan ikut dukung perjuangan warga Pulau Pari," tambahnya.
Kabar terbarunya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta menghentikan aktivitas pengerukan pasir di dekat Pulau Pari. Aktivitas pengerukan pasir disebut tidak berizin yang sempat menghebohkan publik. Meski begitu belum ada pernyataan resmi dari pihak terkait mengenai penghentian tersebut.
Pada 2023 lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014--2019, Susi Pudjiastutimenjadi pembicara utama dalam diskusi Green Press Community (GPC) yang diadakan oleh Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) di Gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta Selatan, pada Kamis, 9 November 2023.
Dalam kesempatan itu Susi menyatakan laut sebagai "massive property" atau aset besar, dan tindakan yang merusaknya sebenarnya berarti merusak Bumi. Sementara itu, selain Susi, terdapat Asmania, seorang anggota Penggerak Kelompok Perempuan Pulau Pari, yang juga secara aktif berjuang melawan ketidakadilan dari korporasi yang merugikan kekayaan lingkungan Pulau Pari.
Reklamasi di Pulau Pari
Pada kesempatan yang sama, ia berbicara tentang pengalaman warganya di daerahnya yang hanya berjarak dua kilometer dari Jakarta, yang menjadi korban keserakahan korporasi. Asmania menceritakan bagaimana warga di Pulau Pari, terutama para perempuan, memiliki tekad bulat untuk menjaga kelestarian lingkungan laut dan pesisir karena laut adalah sumber kehidupan bagi sebagian besar penduduk pulau yang berprofesi sebagai nelayan.
Dia menjelaskan bahwa penduduk pulau telah melakukan berbagai usaha untuk melestarikan lingkungan, terutama ekosistem laut, dengan secara rutin menanam mangrove di daerah pesisir. "Kami perempuan-perempuan Pulau Pari berkomitmen menanam mangrove setiap bulannya. Terakhir kami juga menanam 6 ribu mangrove bersama wisatawan," ungkap wanita yang akrab disapa Teh Aas tersebut.
Namun, kata dia, upaya tersebut seolah tidak ada artinya lantaran reklamasi besar-besaran yang terjadi yang dilakukan oleh Artha Graha Group. Pada akhirnya, ekosistem laut akan tetap rusak dan warga pun kehilangan mata pencahariannya.
"(Reklamasi) karena disitu ada tumbuhan, rumput laut yang kami tanam, ada ikan dan tambak yang kami budidaya disana. Tapi itu mati dan dari KLHK tidak bisa kasih kami info izin apa yang mereka (korporasi) dapatkan untuk bisa melakukan reklamasi," katanya tersedu-sedu.
"Dalam situasi seperti ini," lanjutnya, "perempuan di Pulau Pari menghadapi beban ganda. Kami harus bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kami."