Perjalanan Panjang Memagari Objek dan Desa Wisata dari Intaian Pungli

5 hours ago 3

Liputan6.com, Jakarta - Pungutan liar alias pungli menjadi ancaman bagi wisatawan dan pengelola wisata di nyaris semua tempat di Indonesia. Risikonya meningkat terutama di periode libur panjang atau sedang jadi incaran banyak wisatawan.

Hal itu juga disadari betul oleh Sugeng Handoko, pengelola Desa Wisata Nglanggeran yang berada di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Karena itu, sebelum membuka desa untuk tujuan wisata, ia dan timnya membangun kesadaran warga dan lingkungan sekitar sebagai pondasi utama.

"Kami butuh waktu dua tiga tahun waktu itu karena ekosistem pengembangan desa wisata belum semapan ini," ujarnya kepada Lifestyle Liputan6.com, Sabtu (18/1/2025).

Ia menyebut bisnis tersebut tak bisa dibangun sendirian jika ingin berkelanjutan. Ia pun menggandeng banyak pihak untuk membentuk ekosistem pariwisata yang kuat. Itu berjalan secara paralel sejak dirintis pada 2007.

"Kami berkoordinasi dan berkomunikasi dengan masyarakat. Eksternalnya dengan dinas terkait, saat itu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Gunungkidul. Kami juga berkolaborasi dengan akademisi karena secara pengetahuan mereka lebih paham. Yang paling penting, melibatkan tokoh kunci di desa dan lingkungan sekitar supaya mendapat dukungan penuh," Sugeng menerangkan.

Setelah menerima tamu, edukasi dan komunikasi pun meluas kepada wisatawan yang datang. Menurut Sugeng, pungli di tempat wisata seringkali terjadi karena tidak ada kolaborasi dan komunikasi yang baik antar-masyarakat dan informasi yang jelas kepada wisatawan. Ketidakjelasan itu dimanfaatkan pihak-pihak tak bertanggung jawab untuk mendapat keuntungan pribadi yang sifatnya instan. 

"Kita sosialisasikan mekanisme bagaimana mereka bisa datang, beli paket wisata juga clear. Itu bisa menutup celah pihak mana pun mengambil kesempatan melakukan pungli," ujarnya lagi. Di samping, penegakan aturan yang tegas agar semua pihak menghormatinya.

Digitalisasi dan Sistem Pembayaran Satu Pintu

Sugeng mengaku sejak Nglanggeran resmi membuka diri sebagai desa wisata, praktik pungli nyaris tidak terjadi di tempatnya. Hanya satu jenis insiden yang hampir menjadi pungli yang bisa segera diatasi. Hal itu bermula dari pengelolaan parkir.

"Dulu terjadi celah wisatawan membayar parkir mobil, katakanlah harusnya membayar Rp5 ribu, tetapi wisatawan memberikan uangnya Rp10 ribu. Petugas parkir tidak kasih uang kembalian, jadi yang Rp5 ribu itu terjadi pungli. Bisa jadi wisatawannya memang mau ngasih (lebih) sebagai jasa pelayanan, tapi mungkin ada yang harapkan pengembalian Rp5 ribu. Itu kan multitafsir ya," urai Sugeng.

Setelah dipelajari, situasi itu kemudian datang dengan solusi pembayaran parkir di satu pintu. Jadi, petugas di lapangan tidak ambil uang tapi hanya fokus memberi pelayanan dan cek tiket parkirnya. Wisatawan yang memarkirkan kendaraan tetap membayarnya di loket. 

Di sisi lain, membangun pemahaman kepada petugas parkir terus digencarkan agar berkenan menerima sistem baru yang dibangun. "Kita pahamkan bahwa pariwisata itu menjual pelayanan dan kepercayaan. Ketika kehilangan itu, kita kehilangan bisnis. Yang rugi tidak hanya satu orang, tapi seluruh ekosistem merasakan dampaknya, sehingga semua orang punya komitmen untuk jagain bisnis bareng-bareng ini," ujarnya lagi.

Digitalisasi layanan juga dinilai bisa memagari tempat wisata dari pungli. Namun, lagi-lagi yang terpenting adalah membangun kesadaran dari semua pihak dan transparansi bisnis agar semua pihak yang terlibat bisa memperoleh manfaat dari kegiatan wisata.

Coba Beri Solusi untuk Atasi Pungli

Beda lagi pendekatan yang dilakukan oleh Perry Tristianto, pemilik berbagai objek wisata di kawasan Lembang, Bandung Barat, termasuk Farm House dan The Great Asia Africa. Pungli bisa terjadi, menurut dia, adalah karena pelakunya tidak memiliki pekerjaan dan lapar. Karena itu, pihaknya sedapat mungkin menyediakan lapangan pekerjaan untuk masyarakat yang tinggal di sekitar objek wisata tersebut.

Jenis pekerjaan yang disiapkan juga beragam. Bisa menjadi karyawan di objek wisata setempat jika lulus kualifikasi, atau bisa mengelola lahan parkir yang ada di luar kawasan objek wisata. Terlebih, lahan parkir yang ada di objek wisatanya tidak bisa menampung semua kendaraan pengunjung yang datang.

"Saya gunakan orang setempat untuk bertindak. Karang Tarunanya yang ngurus parkir dan semuanya," ucap Perry dihubungi Lifestyle Liputan6.com, Jumat, 17 Januari 2025.

Perry juga berkoordinasi dengan aparat desa untuk mengatur agar biaya parkir di luar tempat parkir resmi objek wisatanya diseragamkan. Tujuannya agar wisatawan tidak merasa kapok untuk mengunjungi tempat itu lagi.

"Tanahnya kan punya dia (warga) kadang-kadang. Cuma kita minta kantor desa tolong diseragamkan supaya image-nya tidak jelek semua. Memang lebih mahal (biaya parkirnya), Rp15 ribu atau Rp20 ribu. Tapi, diseragamkan agar tidak merasa harganya digetok," sahutnya.

Membangun Kesadaran Menjaga Periuk Nasi Bersama

Namun, Perry menyadari bahwa pelaku pungli tidak hanya bisa dilakukan warga setempat. Seperti peribahasa ada gula, ada semut, saat ramai pengunjung, banyak pihak juga yang ingin dapat untung dengan cara ilegal. Di situasi tersebut, ia menggunakan warga setempat untuk menjaga lingkungannya dari orang-orang tak bertanggung jawab.

"Kebanyakan yang meminta-minta itu bukan orang setempat, tapi orang luar yang datang ke situ. Dari pengalaman-pengalaman di masa lalu, adalah pengamen dari luar masuk ke tempat parkir kita, kemudian dia ngacau, akhirnya minta duit. Itu mesti kita manage. Karang Taruna lah yang dipekerjakan, suruh jagain," katanya.

"Kita gaji aja. Kalau saya lebih suka Karang Taruna karena mereka masih muda-muda. Kalau Karang taruna diganggu seorang, yang datang (membela) bisa 10 orang," ucapnya.

Selain itu, ia menjalin hubungan baik dengan aparat kepolisian setempat maupun Koramil. Tujuannya agar bisa membantu mengatasi masalah keamanan hingga kemacetan di kawasan wisatanya, terutama di hari ramai.

Pendekatan serupa juga dilakukan dengan pihak pengelola masjid setempat. Pengelola menyiapkan tempat shalat yang memadai, imbal baliknya banyak sumbangan dari jemaah luar yang masuk ke masjid sehingga bisa untuk mengembangkan tempat ibadah. "Akhirnya, masjidnya bisa berkembang karena banyak sumbangan dari pendatang yang shalat," kata Perry.

Dengan kata lain, ia meminta agar semua pihak turut berkontribusi untuk mengatasi masalah pungli. "Jangan hanya mengeluh ke pemerintah saja, tapi kita juga harus cari akal mengatasinya," katanya.

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |