Liputan6.com, Jakarta - Pungutan liar atau pungli masih menjadi bayang-bayang dalam dunia pariwisata di Indonesia. Meski sudah ada aturan hukum terkait yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTKP), namun pungli masih kerap terjadi.
Aturan yang telah ada terkadang masih dilanggar oknum yang "bandel". Pelanggaran ini bisa berupa tarif tiket masuk yang tidak sesuai dengan harga tertera maupun parkir liar yang dikelola oknum tertentu.
Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Tjok Bagus Pemayun mengungkapkan sangat menyayangkan pungli di fasilitas pariwisata. Apalagi jika hal ini terjadi di bandara, sebagai pintu gerbang pariwisata Bali.
"Kami akan koordinasikan dengan pihak bandara, jika itu benar, biar dilakukan tindakan sesuai aturan yang berlaku," kata Tjok, dalam wawancara tertulis dengan Tim Lifestyle Liputan6.com, Jumat, 17 Januari 2025.
Menurutnya, aturan tentang pungutan liar di Indonesia diatur dalam UU PTKP. Selain itu, ada juga Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli).
Dengan peraturan yang ada sudah ada sanksi hukuman bagi pelaku melalui jalur hukum. Ia pun mengimbau agar setiap otoritas yang ada di tempat-wisata diharapkan selalu menjaga ketertiban, keamanan serta kenyamanan setiap yang berkunjung ke tempat tersebut.
"Usahakan bisa mencegah hal-hal yang bisa merusak citra dari tempat wisata tersebut," sambung Tjok.
Adapun terkait masalah ketertiban pihak keamanan diharapkan telah melaksanakan tupoksi masing-masing. Menurutnya, tanda lalu-lintas sudah terpasang di setiap titik, dan makna dari lambang-lambang yang ada, bersifat internasional. Dengan itu, wisatawan semestinya sudah bisa memahami.
Koordinasi dengan Aparat untuk Jaga Ketertiban
Senada, Kepala Bidang Data Informasi dan Pengembangan Destinasi, Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kota Jakarta, Hari Wibowo mengatakan bahwa pihaknya ikut perihatin dengan masih adanya pungutan liar di kawasan wisata. "Akan tetapi kami selalu berkoordinasi dengan pengleola destinasi bgm bersikap agar tidak berimbas dengan pengunjung lain," ungkap Hari melalui wawancara sambungan telepon kepada Tim Lifestyle Liputan6.com, Jumat, 17 Januari 2025.
Disparekraf pun menurutnya akan lebih meningkatkan koordinasi terhadap tanggung jawab menjaga ketertiban di kawasan wisata dan meningkatkan kewaspadaan. "Kami tidak pernah melarang orang mengunjungi destinasi, tapi kenyataan di lapangan masih ada pungutan liar," katanya
Selain meningkatkan koordinasi, menurutnya, perlu adanya kesadaran wisatawan tentang pungutan liar, salah satunya parkir liar. "Kalau sudah tahu itu parkir liar, jangan mau karena bisa jadi itu area dilarang parkir yang bisa diderek Dinas Perhubungan, harus ikuti rambu-rambu," jelasnya lagi.
Buat Sistem untuk Mencegah Pungli
Sementara itu, dari pelaku wisata, Manajer Operasional Umbul Ponggok, Sri Mulyono mengatakan bahwa di destinasi mana pun pungli bisa terjadi. Itu sebabnya pihaknya membuat sistem yang rapi agar tidak ada kejadian pungli yang merusak kepercayaan dan keenganan wisatawan untuk datang ke sebuah destinasi.
Bahkan Umbul Ponggok pun menciptakan sistem akuntansi di bidang keuangan agar pemasukan dan pengeluaran anggaran di destinasi populer di Yogyakarta tersebut tidak memberi celah kepada oknum pelaku pungli. "Sebelumnya sudah terbentuk organisasi di lingkup desa sesuai tupoksi, lalu ada pengawasan agar sesuai arahan sistem, alur keuangan itu sendiri mudah terawasi termonitoring dan mudah pengecekannya," jelas Mulyono.
Apalagi tak kalah penting di dunia pariwisata sudah maju, sistem sudah tidak manual lagi dengan adanya digitalisasi. Sistem pengelolaan destinasi tersebut pun menggunakan sistem komputerisasi, mulai dari registrasi tiket, administrasi, secara periodik diawasi oleh koordinator di lapangan.
"Kami juga punya mekanisme kerja, semua kewajiban tanggung jawab transaksi hari itu juga harus selesai," katanya.
Penegakan Hukum yang Berlaku
Bukan hanya pencatatan, sistem laporan pun dibagi dua yaitu komputerisasi dan sistem manual, di mana ada dokumen yang tercatat dalam server, tapi ada pula bukti pencatatan dari kertas tiket. "Selain bendahara tidak diperkenankan pegang uang dan dibatasi cash hand tidak lebih dari Rp500 ribu. Belanja pengeluaran dibatasi tidak lebih dari 2 juta (rupiah)," ungkap Sri.
Lebih lanjut ia menyebut bahwa, pihaknya juga diawasi oleh lembaga khusus pengawasan akuntasi manajemen dan keuangan. Organisasi yang dijalankan pun sesuai kebutuhan, sehingga jika ada kebutuhan di luar dari anggaran harus diajukan terlebih dulu.
Sri pun ikut menjawab soal pungli di lahan parkir. Menurutnya sangat mungkin juru parkir memanipulasi karcis yang dicetak untuk melakukan pungli. "Satu karcis jadi tiga transaksi, manipulasi transaksi per kertas per karcis," katanya.
Sejauh ini jika hal itu terjadi, biasanya pihaknya tak langsung menegur hari itu juga. Namun karena lembaga yang menjalankan Umbul Ponggok berbasis pemberdayaan masyarakat desa, akan ada musyawarah di dalamnya. "Ada reward dan punishment sesuai bobot yang terjadi," katanya.
Ia menambahkan bahwa dari banyak sisi mulai dari admin, persewaan, jika terjadi ketidakberesan akan terlihat pada data kunjungan. Kejadian pungli, menurutnya bisa jadi dilatarbelakangi oleh tidak sebandingnya antara Sumber Daya Manusia (SDM) dalam membuat sebuah pelayanan dengan banyaknya wisatawan sehingga bisa sangat mungkin ada manipulasi data.
"Keterbatasan sistem pengawasan dalam sebuah sistem biasanya karena crowded pengunjung," ucapnya.
Sebagai konsekuensi, jika terjadi pungli di Umbul Ponggok, pihak yang melakukan akan dikenai sanksi. Pelaku harus mengembalikan uang yang telah digelapkan dan secara sukarela mengundurkan diri. "Namun syukurnya selama ini belum ada kasus," tandas Sri.