Liputan6.com, Jakarta - Dalam beberapa waktu belakangan, istilah "Marriage is Scary" muncul dan menjadi fenomena sosial baru di masyarakat modern yang menilai bahwa pernikahan terasa menakutkan untuk dijalani. Perubahan sosial ini muncul ke permukaan dari pengalaman individu dalam memandang perkawinan.
"Karena memang zamannya udah berubah, perubahan sosial, sama pengalaman individunya mengalami perubahan, orang memandang perkawinan itu sesuatu yang kompleks," ungkap Psikolog Klinis, Dian Ibung, S.Psi saat wawancara telepon dengan Tim Lifestyle Liputan6.com, Jumat, 15 Februari 2025.
Dian menilai fenomena ini juga terangkat karena dipengaruhi sosial media dan explosure pemberitaan, di mana dulunya orang lebih tertutup soal pernikahan, kini cenderung bebas berbicara. Selain itu media sosial yang menunjukkan hubungan sempurna, memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru soal idealnya sebuah pernikahan.
Di tengah perubahan zaman, ekspektasi pria terhadap wanita dan wanita kepada pria juga berubah seiring waktu berjalan di banding pernikanan tradisional yang dialami generasi sebelumnya. Pernikahan saat ini dinilai lebih kompleks dengan tanggung jawab dan komitmen yang ada.
"Perasaan takut, cemas, ragu akan pernikahan penyebabnya pernah punya pengalaman yang tidak menyenangkan dari pernikahan," kata Dian.
Kebanyakan mereka yang merasakan kekhawatiran dalam menjalani pernikahan adalah orang dengan riwayat keluarga broken home, pernah gagal dalam pernikahan dan hubungan pacaran, hingga toxic relationshiop. Namun hal ini juga bisa tejadi pada mereka yang perfectionist dan overthinking.
"Karena (mereka) akan memandang pernikahan ideal, karena nggak mungkin ada yang ideal manis terus menerus. Ketika si perfectionist ini tidak mendapatkan kesempurnaan dan si overthinking ini mengalami hal yang tidak menyenangkan takutnya jadi berlebihan," papar Dian yang juga seorang Master Grafologi.
Ekspektasi Tinggi Pernikahan
Penggambaran pernikahan yang sempurna dari media sosial ikut memberi tekanan sosial kepada mereka yang belum menikah. "Pasangan di medsos flexing bulan madunya, jadi harapannya tinggi. Belum lagi masalah ekonomi, pertanyaan setelah menikah masih bisa kerja apa tidak, mencukupi atau tidak untuk membesarkan anak," tambah Dian.
Bukan hanya soal riwayat trauma hubungan yang sebelumnya, perempuan yang feminist yang merasa harus jadi alpa woman yang merasa harus mampu sebagai wanita dan wanita karier juga bisa bingung dalam hubungan pernikahan. "Yang pikirannya modern dan merasa akan terjebak sendiri dengan pernikahan," cetus Dian.
Sebabnya, ia pun menyarankan untuk mengenali lebih dulu diri sendiri apa sebenarnya yang ditakutkan dari pernikahan. Seseorang harus mengajak bicara orang yang tepat dan terpercaya, bisa orang yang dituakan dalam keluarga maupun pergi ke profesional seperti psikolog.
"Ketika sudah tahu masalah di mana, harus dibenahi dan disiapkan, bisa dibantu apa tidak karena ada luka-luka lama, klo masalah lain berpikir positif akan sangat mampu untuk mengatasi hal tersebut," sarannya.
Untuk mereka yang sudah punya pasangan dan merasa memiliki kekhawatiran untuk menjalani pernikahan, maka dianjurkan untuk berkomunikasi yang sehat. Membicarakan apa kelanjutan hubungan yang sebenarnya dan mencari cara mengatasinya bersama pasangan.
"Kurangi tekanan sosial di lingkungan medsos dan nyata. Jangan scroll yang negatif, tapi pelajari bagaimana nikah yang sehat," tandasnya.
Mengatasi Kekhawatiran Akan Pernikahan
Sementara itu, Psikolog Klinis di Personal Growth, Mutiara Maharini, M.Psi, Psikolog, mengatakan fenomena "Marriage is Scarry" tidak hanya muncul dari perspektif negatif. "Tapi justru muncul dari kesadaran soal kesehatan mental dan relasi sehat dan ada perubahan cara memandang pernikahan," ungkapnya dalam wawancara telepon dengan Liputan6.com, Jumat, 14 Februari 2025.
Menurutnya generasi milenial dan Gen Z saat ini lebih paham soal kesehatan mental dan bisa memahami apa yang membuat dirinya bahagia dan tidak. "Ketika masuk ke dalam relationship mereka lebih punya kesadaran, sehingga saat berada di relationship itu take action,"
Di sisi lain, sambung dia, ada perubahan social dalam masyarakat tentang pernikahan. Jika dulu pernikahan karena politik dan ekonomi, kini pernikahan jadi alat untuk mendapat kebahagian.
"Berbeda dari seabad lalu, orangtua kita tdk ada pilihan (soal menikah). Sementara pemikiran generasi sekarang nggak wajib-wajib banget nikah, daripada nikah serem atau nikah sampai akhir hayat tapi nggak bahagia," imbuhnya.
Mutiara menyebut pernikahan oleh generasi sekarang dinilai sesuatu yang penuh risiko dan ketidakpastian, terlebih ekspektasi pada pernikahan kian meningkat. Ia menyarankan agar seseorang bertanya kembali ke diri sendiri dan memproses ketakutan-ketakutannya, agar dengan itu bisa menemukan relasi yang sehat.
"Perlu dicari tahu trigger-nya dan coba diproses apa itu bisa di-handle, dicegah, atau itu sesuatu yang di luar control," terangnya lagi.
Ia pun menyarankan agar seseorang yang mengalami kekhawatiran akan pernikahan untuk berkomunikasi dengan pasangan, melakukan konseling pra nikah, pergi ke psikolog atau meminta bantuan profesional untuk lebih memahami perannya saat menikah. Dengan itu, seseorang juga akan bisa belajar mengatasi kondlik dan bisa punya harapan yang realistis terhadap pernikahan.
Di samping itu, penting juga untuk memiliki role model pernikahan sehat, meski tak semua orang mempunyai itu. Jika dari keluarga broken home bisa mengacu pada relasi harmonis om maupun tantenya, bahkan orangtua teman agar bisa melawan rasa kekhawatiran akan pernikahan.