Saat 100 Perempuan Penari Bergerak Serempak Menarikan 38 Tarian Nusantara di Festival Art ChipelaGong

4 weeks ago 20

Liputan6.com, Jakarta - Art ChipelaGong 2024 kembali hadir di Taman Ismail Marzuki pada Sabtu, 26 Oktober 2024. Melibatkan 100 perempuan penari, suasana penuh warna dan emosi menciptakan momen yang tak terlupakan. Gemuruh tepuk tangan penonton menyatu dengan irama langkah kaki para penari, menggambarkan kekayaan budaya Indonesia yang beragam.

Listiany Kartawidjaya, Ketua Pagelaran Art ChipelaGong 2024 sekaligus Founder KPM, menyampaikan bahwa Art ChipelaGong awalnya dirintis Komunitas Perempuan Menari. Penari yang terlibat berlatar belakang beragam, dengan usia mulai dari 11 hingga 60 tahun, membuktikan bahwa tarian itu bisa masuk ke segala usia.

"Festival bertujuan bukan sekadar pertunjukan, tetapi ungkapan cinta dan kebanggaan kami terhadap seni tari yang diwariskan dari generasi ke generasi. Kami pun menari, dan semoga dapat menginspirasi lebih banyak orang untuk mencintai dan melestarikan budaya tari," kata Listiany kepada Tim Lifestyle Liputan6.com dalam jumpa pers di Jakarta, pada Sabtu, 26 Oktober 2024.

Bukan hal mudah untuk menyamakan gerak dan membawakan 38 tarian. Menurut Listiany, para penari berlatih selama enam bulan setiap Sabtu untuk persiapan. "Pelatihan diadakan di Taman Ismail Marzuki, dan para penari rutin berlatih untuk meresapi dan memahami setiap gerakan tarian itu," kata Listiany.

Mengutip buku digital acara Art ChipelaGong 2024, berbagai jenis tarian ditampilkan yang dibagi beberapa zona. Di Zona Kalimantan misalnya, penari membawakan Seraong, Dadas, Enggang, Gerbang Pedalaman, dan Hudoq. Berikutnya adalah Zona Maluku dan Nusa Tenggara yang membawakan tari Gandrung Belek, Lego-Lego, Tifa Maluku, dan Dana-Dana.

Pergelaran Festival Art ChipelaGong Mengalami Peningkatan dari Tahun Sebelumnya

Selanjutnya dari zona Jawa-Bali, para penari membawakan Tari Topeng Cirebon, Topeng Klana, Topeng Kumudaningrat, Topeng Tiga, Topeng Bapang, Topeng Telek, dan Kontemporer Kurawa. Kemudian di Zona Sulawesi, mereka menampilkan Pamonthe, Malulo, Tidi Lo Polopalo, Patudu, dan Pakarena.

Sementara, penari di Zona Papua membawakan tarian selamat datang, Cendrawasih, Pangkut Sagu, Tifa Papua, Papua Pegunungan, dan Yospan. Selanjutnya, terdapat jembatan antar-zona yaitu Banten dan Sulawesi Utara. Sementara, tarian terbanyak berasal dari Pulau Sumatera yang meliputi Guel, Tabot, Rangguk, Zapin, Serampang 12, tari Cawan, Tari Piring, Tari Payung, Tari Melinting, dan Puan Batanggai.

"Tarian dari Sumatera paling sering dipertunjukkan, karena pelatih lebih mahir dalam tarian tersebut," ucap Listiany.

Dengan banyaknya tarian yang dibawakan, Art ChipelaGong berhasil meraih rekor MURI sebagai Tari Nusantara terbanyak. Ia juga mengklaim pagelaran kali ini memiliki penonton terbanyak selama digelar enam tahun. "Kami menggelar acara dengan kapasitas 1.200 penonton, sementara tahun-tahun sebelumnya hanya dapat menampung 41 orang di Gedung Pusat Jakarta (GKJ)," kata Listiany.

Tantangan Penyelenggaraan Festival Art ChipelaGong

Listiany mengaku, dengan banyaknya kapasitas tempat duduk, pihaknya juga harus berjuang keras menjual tiket. Strategi kami adalah memanfaatkan media sosial, terutama Instagram kami @perempuanmenari. Setiap kali ada kegiatan, kami selalu memposting informasi dan berbagi momen latihan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan minat, terutama di kalangan ibu-ibu yang ingin belajar menari," katanya.

Ia juga menyampaikan selama berlatih, pihaknya harus menyesuaikan diri dengan kondisi penari yang sudah lanjut usia. Metode pengajaran dimodifikasi karena biasanya penari yang sudah lanjut usia kesulitan untuk jongkok maupun duduk.

"Untuk ibu-ibu yang memiliki keterbatasan, dalam berlatih itu tergantung pada individu. Ada yang rajin berlatih, ada juga yang tidak. Kami terbuka untuk semua, jadi meskipun tidak ada acara, mereka tetap bisa datang dan berlatih. Memang, bagi ibu rumah tangga, seringkali banyak pekerjaan yang harus dikerjakan, namun kami tetap menyesuaikan," imbuhnya.

Pagelaran itu sengaja digelar sebagai wujud apresiasi, tidak hanya pada diri penari sendiri, tetapi juga teman-teman yang mendukung mereka. "Kami sangat bangga menampilkan ragam tarian yang lebih luas, mulai dari Sumatera hingga Indonesia Timur. Dengan semangat dan rasa cinta yang mendalam, kami berharap dapat memperkaya pengalaman budaya yang kami sajikan," kata Listiany.

Menarik Gen Z Mencintai Seni Tari

Listiany percaya bahwa merestorasi budaya tari harus dimulai dari lingkungan keluarga dan meluas ke masyarakat. Festival Art ChipelaGong tidak hanya sebagai pertunjukan, tetapi juga ingin menjangkau lebih banyak generasi muda, khususnya Gen Z yang aktif di media sosial.

"Kami juga memperhatikan bagaimana minat Gen Z terhadap budaya tari. Melalui pergelaran langsung seperti ini, kami dapat menarik minat mereka. Saya melihat hari ini kehadiran mereka sangat banyak memenuhi kursi penonton. Saya sangat senang ini berkat informasi dari media sosial kami," kata Listiany.

"Bahkan, yang membeli tiket juga sangat banyak dari Gen Z. Saat kami menanyakan dari mana mereka mengetahui kegiatan ini, banyak yang menjawab dari Instagram," tambahnya.

Ia menyebut bahwa seni tari Nusantara itu indah dengan gerak luar biasa dan kostum yang cantik. Kehadiran Gen Z sebagai penonton diharapkan bisa membantu melestarikan warisan nenek moyang yang ada. "Semoga pergelaran ini bisa dilanjutkan dan berkiprah setiap tahunnya," kata Listiany.

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |