Mendorong Reformasi Pengelolaan Royalti Musik

3 hours ago 3

Liputan6.com, Jakarta - Ada tiga hal penting dalam menjaga ekosistem royalti musik, menurut Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas. Pertama, harus ada kreasi.

"Jika karya itu baik, berlanjut pada tahap kedua, yaitu perlindungan hukum. Setelah perlindungan hukum terjamin, barulah kita bisa memasuki tahap ketiga, yaitu transformasi dan pembangunan sistem pendapatan," katanya di sesi "Reformasi Pengelolaan Royalti Musik" di hari ke-2 Konferensi Musik Indonesia (KMI), Kamis, 9 Oktober 2025, merujuk rilis pada Lifestyle Liputan6.com.

Jika ekosistem ini dikelola dengan baik, menurut dia, akan tercipta peluang besar bagi pelaku musik Tanah Air, yang pada gilirannya dapat terus melahirkan karya-karya baru melalui sistem perlindungan hukum dan tata kelola royalti yang adil.

"Ekosistem musik ini juga bersinggungan dengan kebijakan di bidang kebudayaan, ekonomi kreatif, serta informasi dan digitalisasi. Karena itu, kerja sama lintas kementerian jadi penting untuk memperkuat seluruh rantai nilai industri," imbuh Supratman.

Perihal Direct Licensing

Di sesi diskusi, Indra Lesmana berbicara tentang direct licensing untuk pertunjukan musik, sebuah sistem yang menurutnya dapat jadi solusi bagi kesejahteraan pencipta lagu di era digital, di mana industri musik mengalami transformasi besar dengan munculnya streaming platform.

"Direct licensing menawarkan pendekatan yang lebih adil," ujarnya. "Di sistem ini, pencipta lagu atau publisher memberi izin langsung pada penyelenggara acara, promotor, venue, stasiun televisi, atau platform digital tanpa melalui lembaga kolektif."

Salah satu keuntungan sistem direct licensing, sebut Inda, yakni pendapatan pemiliki karya meningkat karena tidak ada potongan lembaga, dengan perolehan tambahan 20–30 persen dari royalti. Namun demikian, penerapannya memerlukan infrastruktur dan regulasi baru.

Pongki Barata menyebut, sistem kolektif, seperti Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), sebenarnya masih dibutuhkan untuk memudahkan pengelolaan royalti bagi banyak pihak. Tapi, sistemnya perlu direformasi.

Bangun Sistem Lebih Transparan

"Yang penting adalah bagaimana kita bersama-sama membangun sistem yang lebih transparan, terukur, dan adil bagi semua pencipta dan pelaku musik," kata Pongki.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI), Dino Hamid, mencatat, masih banyak hal yang perlu diperbaiki terkait edukasi dan sosialisasi penyelenggaraan konser dan kegiatan musik di Indonesia. Pasalnya, banyak pelaku industri belum memahami hak dan kewajiban mereka, termasuk soal pembayaran hak cipta dan izin penyelenggaraan acara.

Ia mencontohkan beberapa kasus di mana promotor sudah menanggung banyak biaya perizinan, namun belum sepenuhnya memahami sistem pembayaran hak cipta secara benar. Dino berharap, pemerintah dan lembaga terkait dapat memperbaiki tiga hal utama: sosialisasi lebih luas dan jelas; edukasi berkelanjutan tentang sistem pembayaran dan hak cipta musik; dan penyederhanaan proses perizinan.

Mengatur Pertunjukan Musik

Satriyo Yudi alias Piyu Padi mengusulkan adanya bagian khusus yang mengatur tentang pertunjukan musik dalam penyusunan perubahan perundangan Hak Cipta. Pertunjukan musik bersifat transaksional dan kontraktual yang melibatkan kerja sama langsung antara penyelenggara dan artis, sehingga tidak dapat disamakan dengan kegiatan usaha lain.

"Pengumpulan royalti dilakukan setelah konser selesai, dengan besaran dua persen dari pendapatan pertunjukan atau biaya produksi, padahal lagu sudah digunakan dan dinyanyikan di pertunjukan tersebut, tapi penciptanya belum menerima haknya," ujarnya.

"Karena itu, kami mengusulkan agar pembayaran royalti dilakukan sebelum pertunjukan berlangsung, seperti halnya sistem pembayaran pada penyanyi atau artis yang sudah menerima uang muka dan fasilitas sebelum tampil."

Perjalanan menuju keadilan Hak Cipta bagi para pelaku musik harus diperjuangkan secara regulasi, sistem, seta kesadaran dan pengetahuan bersama. 

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |