INACA: Efisiensi Anggaran Bikin Jumlah Penumpang Penerbangan Domestik Turun

23 hours ago 6

Liputan6.com, Jakarta - Efisiensi anggaran pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dilaporkan berdampak pada jumlah penumpang penerbangan domestik. Hal ini, menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (Sekjen INACA) Bayu Sutanto, mengacu pada statistik penerbangan dalam negeri selama tiga bulan pertama tahun 2025.

"Load factor penerbangan domestik pada Januari (2025) sekitar 75 persen. Kemudian, awal Maret, sudah mulai puasa (load factor penerbangan) sekitar 67 persen. Kenapa load factor-nya masih relatif sekitar 70 persen? Karena ada pengurangan kapasitas atau jumlah penerbangan domestik," katanya saat jumpa pers secara hybrid, Sabtu, 22 Maret 2025.

Beberapa penerbangan, kata dia, entah digabungkan atau dibatalkan sejak Januari 2025. "Pengurangan (jumlah penerbangan) sekitar 30 sampai 40 persen, disesuaikan dengan demand yang memang rendah," sebut Bayu. Di sisi lain, penerbangan internasional masih relatif stabil.

"Tidak ada pengurangan kapasitas (untuk penerbangan internasional), dan load factor-nya masih 72─75 persen. Tapi di awal bulan puasa, (load factor penerbangan) turun jadi sekitar 50 persen," bebernya. Penurunan ini terkecuali pada rute-rute tertentu, seperti Denpasar-Perth dan Jakarta atau Denpasar ke kota-kota di China untuk penerbangan internasional.

Industri penerbangan, ungkap Bayu, juga terdampak efisiensi anggaran, karena selama ini 15─20 persen penumpang berasal dari segmen Aparatur Sipil Negara  (ASN). "Sejak pengumuman pemotongan (anggaran pada November 2024), belum ada ASN bepergian sampai awal Maret (2025)," ujar Bayu.

Angka turis domestik yang bepergian dengan pesawat juga diprediksi akan turun karena adanya pengurangan jumlah segmen kelas menengah akibat "deflasi dalam enam bulan terakhir," ungkapnya. Kendati ikut turun, grafik penumpang penerbangan internasional tidak sampai terjun bebas.

Promosi 1

Maskapai yang Lebih Terdampak

Secara khusus, maskapai-maskapai dengan segmen ASN lebih tinggi, seperti Garuda Indonesia, akan mengalami penurunan lebih banyak. "Selama ini memang ada preferensi dari pemerintah atau ASN yang mengutamakan penggunaan maskapai BUMN, Garuda khususnya, saat bepergian, sehingga itu akan berdampak," ujar Bayu.

Tidak hanya sektor penerbangan, industri hotel pun terdampak pemotongan anggaran. Menurut survei Industri Hotel Indonesia oleh Horwath HTL, permintaan kamar dari pemerintah di hotel-hotel Indonesia biasanya berkisar antara sekitar 5─7 persen dari total bisnis hotel.

Sementara itu, permintaan terkait MICE berkisar antara 6─21 persen. Angka-angka ini bervariasi, tergantung pada karakteristik pasar, hotel positioning, dan lokasi geografis. Ketergantungan pada pengeluaran pemerintah dan permintaan terkait MICE dominan di segmen hotel bintang 3, bintang 4, dan bintang 5.

Ketua Bidang Litbang dan IT Badan Pimpinan Pusat Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (BPP PHRI), Christy Megawati, mengatakan bahwa survei tersebut melibatkan 726 pelaku industri perhotelan dari 30 provinsi. "Hasilnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam," katanya di kesempatan yang sama.

Hotel-Hotel Terancam Tutup

Merujuk survei, responden mengungkap sejumlah potensi dampak efisiensi anggaran. Dampak dalam lingkup kendali hotel, yaitu 88 persen responden memprediksi mereka akan perlu membuat keputusan sulit melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) guna mengurangi biaya pengupahan.

Kemudian, 58 persen responden mengantisipasi potensi gagal bayar pinjaman pada bank. Sementara itu, 48 persennya memproyeksikan, jika situasi ini berlanjut, penutupan hotel akan terjadi karena defisit operasional.

Dampak di luar lingkup pengaruh hotel, yakni 78 persen responden memprediksi bahwa target pajak hotel tidak akan tercapai. Lalu, 71 persennya yakin, kerugian pendapatan hotel akan menyebabkan gangguan rantai pasokan.

Terkait efek domino, 83 persen responden memprediksi bahwa jika situasi saat ini tidak berubah, akan terjadi penurunan sektor pariwisata, yang akan berdampak pada ekonomi daerah yang sangat bergantung pada pariwisata.

Awal tahun 2025, sebut Christy, 83 responden melaporkan bisnis mereka kurang menguntungkan. Penurunan drastis tercatat terkait permintaan dari sektor pemerintah. "Ini menunjukkan bahwa pengurangan anggaran perjalanan dinas pemerintah dan melemahnya aktivitas MICE telah mengganggu dinamika pasar secara keseluruhan."

Desak Pemerintah

"Dampaknya dirasakan hotel kelas menengah ke atas dan wilayah yang bergantung pada permintaan dari sektor pemerintahan," imbuh Christy. "Lebih dari 30 responden melaporkan penurunan pendapatan lebih dari 40 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Penurunan permintaan MICE, kata dia, akan jadi tantangan utama bagi industri perhotelan, yang memicu penurunan tarif kamar dan persaingan harga yang ketat. "Ini menciptakan ketidakstabilan pasar dalam jangka panjang," ucapnya.

Christy menegaskan, "Kami di sini mendesak pemerintah untuk segera mengintervensi, termasuk (memberi) insentif pajak, bantuan finansial, dan peningkatan promosi pariwisata. Intervensi ini sangat penting untuk menstabilkan sektor perhotelan dan menjaga prospek pariwisata Indonesia secara jangka panjang."

Di kesempatan yang sama, Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), Hariyadi BS Sukamdani, menambahkan bahwa yang terpenting sekarang, pemerintah segera "menjalankan anggarannya." "Pemerintah sudah menyampaikan pemotongan anggaran perjalanan dinas sebesar 50 persen," ujarnya.

"Nah, 50 persen (sisa anggaran perjalanan dinas setelah efisiensi) itu dijalankan saja," Hari menyambung. "Karena per hari ini, yang terjadi adalah 100 persen tidak ada yang jalan. Kalau pun ada, kecil sekali."

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |