Menhut Tanggapi Kasus Tokoh Adat Diduga Jual Lahan Taman Nasional Tesso Nilo Riau

7 hours ago 4

Liputan6.com, Jakarta - Polda Riau baru saja menangkap seorang tokoh adat yang diduga menjual lahan di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Pelalawan, Riau, dengan mengatasnamakan hak ulayat. Tersangka berinisial JAS berusia 54 tahun ditangkap pada Senin, 23 Juni 2025.

Dia menjabat sebagai Batin Muncak Rantau di Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui. Melansir kanal News Liputan6.com, Selasa, 24 Juni 2025, dalam kapasitasnya sebagai pemangku adat, Jasman mengklaim sekitar 113 ribu hektare lahan Taman Nasional Tesso Nilo sebagai wilayah ulayat dan menerbitkan sejumlah surat hibah yang kemudian dijual pada pihak luar.

Belakangan diketahui lahan tersebut dimanfaatkan untuk menanam pohon sawit yang ilegal dilakukan di taman nasional. Menanggapi hal itu, Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni mengatakan kawasan hutan termasuk taman nasional tidak boleh ditanam sembarang pohon.

"Yang pasti kami (Kementerian Kehutanan) ingin menertibkan kawasan hutan kita. Hutan tidak boleh ditanami sawit, karena termasuk kawasan konservasi," kata Menhut pada Lifestyle Liputan6.com usai acara penutupan Proyek Strengthening of Social Forestry (SSF) di kantor Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Jakarta, Selasa, 24 Juni 2025.

Menjaga Hutan dan Taman Nasional

"Pemerintah dan kita semua ingin menjaga hutan kita dan penting sekali melestarikan kawasan taman nasional," sambung Menhut. Ia menambahkan, masyarakat tetap boleh menanam, tapi tempatnya bukan di hutan atau taman nasional.

Tesso Nilo dahulu merupakan kawasan Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Tanaman Industri yang kemudian ditetapkan sebagai Taman Nasional sejak 2004, dengan luasan yang kini mencapai 81.793 hektare. Kawasan itu memiliki nilai penting sebagai perwakilan ekosistem hutan dataran rendah yang kaya keanekaragaman hayati dan merupakan salah satu benteng terakhir bagi spesies langka di Sumatra.

Namun, menurut Direktur Konservasi Kawasan Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kemenhut Sapto Aji Prabowo , kawasan itu menghadapi tantangan serius. Dari total luasnya, hanya sekitar 24 persen atau sekitar 19 ribu hektare yang masih berupa hutan, sisanya telah berubah jadi areal terbuka yang didominasi pemukiman dan kebun sawit ilegal.

Tim Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo

Kondisi itu melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Jo. UU Nomor 32 Tahun 2024, yang melarang perubahan keutuhan kawasan pelestarian alam. Untuk menangani permasalahan itu, pihaknya melalui operasi bersama dengan aparat penegak hukum, melakukan penindakan terhadap pelaku illegal logging dan perambah.

Ini termasuk dengan menangkap pelaku, perobohan pondok liar, penyitaan alat berat, serta pemusnahan kebun sawit ilegal. Pihaknya juga membentuk Tim Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo. Pemerintah juga membentuk Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025. Tim itu diketuai Menteri Pertahanan dengan Ketua Pelaksana Jaksa Agung Muda Pidana Khusus.

Penertiban sempat dilakukan pada Selasa, 10 Juni 2025, di kawasan itu terhadap berbagai aktivitas ilegal, seperti pembangunan rumah, pembukaan kebun dan lahan, penanaman sawit, pemeliharaan ternak, serta pembakaran hutan.

"Upaya pemulihan ekosistem juga terus diupayakan. Hingga 2021, telah dilakukan pemulihan ekosistem seluas 3.585 ha, mencakup rehabilitasi hutan, DAS, dan kegiatan restorasi oleh Balai TNTN," tutur Sapto, dilansir dari Antara.

Merusak Ekosistem yang Dilindungi Undang-Undang

Sementara itu, Kapolda Riau Irjen Herry Heryawan, menyatakan, kasus ini terungkap berkat kerja Satgas Penanggulangan Perambahan Hutan (PPH) Polda Riau. "Tidak boleh ada toleransi bagi siapa pun yang menjadikan kawasan konservasi sebagai objek komersialisasi pribadi, sekalipun dengan tameng adat. TNTN adalah warisan ekologis untuk generasi mendatang yang wajib kita jaga," kata dia.

Irjen Herry mengatakan, pihaknya tidak anti terhadap eksistensi hak ulayat dan struktur adat di Riau, namun negara harus hadir ketika klaim adat digunakan secara tidak sah untuk merusak ekosistem yang dilindungi undang-undang.

"Ini bagian dari tanggung jawab moral dan konstitusional kami. Green Policing bukan sekadar penindakan, tapi juga membangun kesadaran hukum dan ekologis di tengah masyarakat. Dan itu sedang kami lakukan di Riau," tegasnya.

Irjen Herry menambahkan, langkah ini merupakan peringatan keras kepada siapa pun yang mencoba menyalahgunakan status adat, memperjualbelikan kawasan konservasi, atau membiarkan praktik-praktik perambahan terjadi secara sistematis.

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |