Keluh Kesah Pengusaha Terkait Wajib Halal, Biaya Tinggi Pendampingan Minim

1 week ago 15

Alasan bisa aja dibuat berbagai cara. (0:03) Kalau udah merasa kewajiban seperti oleh undang-undang memaksakan, (0:08) bukan memaksakan ini bagaimana, adalah kewajiban untuk agar kepentingan orang yang berusaha juga terpenuhi, (0:16) usaha dia jalan, hasil juga dia dapatkan, dan berbagai sisi positif didapatkan. (0:24) Memang kalau misalnya dari BPJB, hasilnya, tantangannya seperti apa sih? (0:29) Terutama misalnya di kalangan UMKM gitu.

Khaswar Syamsu, Kepala Halal Science Center IPB University

Sebelum ada UU no 33 2014, sertifikasi halal bersifat sukarela. Bagi Pelaku Usaha Besar, sertifikat halal merupakan bagian dari promosi untuk merebut pasar konsumen muslim, khususnya di Indonesia yang memang mayoritas beragama Islam. Dana yang diperlukan untuk biaya proses sertifikasi halal masih jauh dibawah dana untuk iklan di media massa seperti televisi dan surat kabar. Anggaran yang digunakan untuk biaya sertifikasi halal bisa dialokasikan dari dana promosi atau pemaaran produk. Karena itu, walaupun sertifikasi halal tidak diwajibkan, sudah banyak Usaha Besar yang memiliki sertifikat halal. Apalagi kalau produk yang dihasilkan merupakan bahan  bagi industri lain yang menginginkan sertifikat halal. Sertifikat halal menjadi keunggulan kompetitif dalam merebut pasar.

Bagi Usaha Mikro dan Kecil, umumnya tidak ada anggaran untuk promosi atau pemasaran. Bagi UMK, biaya sertifikasi halal menjadi pengeluaran tambahan. Karena itu sedikit sekali UMK yang mengurus sertifikat halal. Setelah UU no 33 tahun 2014 diberlakukan, tidak ada pilihan bagi pelaku usaha baik usaha besar maupun UMK untuk mengurus sertfikasi halal, kecuali bagi produk yang memang haram. Untuk UMK yang menenuhi syarat, ada program Sehati (Sertifikat Halal Gratis) dari BPJPH.

Bagi usaha besar, biaya sertifikasi halal bukanlah suatu persoalan karena usaha besar pasti memiliki anggaran untuk promosi. Tantangannya hanyalah ketidak mauan dan/atau  ketidak tahuan bagaimana prosedur pengurusan sertifikasi halal.

Bagi UMK, selain ketidakmauan dan ketidaktahuan, anggaran untuk sertifkasi halal yang meliputi dana untuk mengikuti pelatihan penyelia  halal dan biaya sertifikasi halal mungkin juga merupakan kendala. Karena itu diperlukan bantuan dari negara atau dari CSR BUMN atau Perusahaan swasta untuk membantu UMKM mendapatkan sertfikat halal.

Saya kira BPJPH sudah mensosialisasikan kewajiban sertifikasi halal sejak berdirinya BPJPH. Selain BPJPH, Pusat Pusat Halal di Perguruan Tingggi dan Lembaga Pemeriksa Halal juga sudah mensosialsiasikan wajib halal 2024. Namun untuk mengurus sertifikasi halal, sebagaimana mengurus sertifikasi kemanan pangan atau sertifikasi mutu (ISO), perlu pemahaman regulasi dan prosedur. Perlu ada pengetahuan tentang Sistem Jaminan Produk Halal, penyiapan daftar bahan halal dan dokumen pendukungnya, penyiapan Manual Halal, dll. Hal ini memerlukan penyelia halal yang kompeten yang harus mengikuti pelatihan dan uji kompetensi. Bagi Usaha Besar yang memiliki jumlah dan kapasitas SDM yang memadai, tentu hal ini bukanlah masalah besar. Namun ini menjadi masalah besar bagi UMK yang tidak memiliki SDM dengan jumlah dan kapasitas yang memadai.

Pusat Sains Halal Perguruan Tinggi seperti  Halal Science Center IPB menyediakan Bimbingan Teknis untuk menedaptkan Sertifikasi Halal.

Di Indonesia sulit mengharapkan kesadaran sendiri oleh pelaku usaha untuk mengurus kewajiban sertifikasi halal kecuali ada manfaat yang diperoleh atau ada sanksi bila tidak mengurus sertifkat halal. Kewajiban regulasi harus disertai dengan sanksi. Regulasi UU no 33 2014, mengatakan bahwa semua produk yang beredar dan dipasarkan di Indonesia harus memiliki sertifikat halal, kecuali produk yang memang haram. Produk haram harus diberi label haram. Namun regulasi tersebut tidak diiringi dengan sanksi yang jelas dan tegas sehingga banyak pelaku usaha yang mengabaikan kewajiban sertifiasi halal tersebut.

Sertfikat halal memastikan bahwa produk yang syubhat sudah pasti halal. Sebelum ada sertifikat halal, maka status produk tersebut adalah syubhat, yaitu belum jelas apakah produk tersebut halal atau haram. Nah, sulit memberikan keyakinan kepada konsumen  bahwa produk yang syubhat itu halal, bukan haram.  

Untuk sertifikasi yang skalanya kecil. (7:20) Bisa jadi satu, sosialisasi yang mungkin sangat minim di daerah.(7:27) Kemudian yang kedua, sosialisasi tidak hanya cukup sosialisasi saja tapi harus di trigger. (7:35) Trigger itu ada peran-peran pemerintah datang untuk berikan contoh kemudian digait. (7:43) Caranya bagaimana dan selanjutnya.

Satu petani, dua petani, ayo kita ikut. (7:47) Kemudian sampai akhir. (7:49) Itu yang nggak ada.(7:52) Kasih contoh, digiring, dituntun istilahnya. (7:55) Ini loh caranya sampai ke ini. (7:58) Kamu kalau mau mengurus ini, begini caranya.(8:02) Habis itu ditinggalin. (8:05) Jadi benar-benar harus detail step-by-step. (8:07) Ya, kayak gitu.

(1:40) Artinya lebih baik saya jual murah tapi banyak daripada jual sedikit putaranya kecil. (1:47) Nah itu yang mereka sulit untuk belum bisa menerima penuhnya pola-pola sertifikasi, (1:53) apakah sertifikasi halal, apakah sertifikasi kaitan dengan produk-produk hutanan atau produk-produk legal lainnya. (2:02) Di sini saya berharap sih, satu bahwa peran pemerintah itu harus hadir di sini.

(2:10) Kenapa? Pemerintah yang memiliki masyarakat di sana tentu tahu betul bagaimana mereka bisa memfasilitasi masyarakat. (2:19) Kemudian masyarakat juga bisa mendapatkan akses ke badan-badan sertifikasi, kemudian ke sertifikasi khususnya antisasar. (2:27) Kemudian ada stimulasinya untuk bisa mempermudah masyarakat memiliki akses itu.

(2:34) Memang masyarakat sekarang itu kan bagi yang usaha mikro kecil itu juga sekarang sudah diwajibkan untuk memiliki itu. (2:41) Harapannya memang harus adanya nilai tambah. (2:44) Cuma nilai tambah sendiri mereka sejauh ini juga masih tergantung dengan proses-proses untuk proses membuat sertifikasi juga butuh biaya.

Yang membiayainya mereka itu siapa? (2:57) ADD diharapkan bisa sampai ke sana, anggaran dana daerah itu ya, dana desa itu bisa diharapkan. (3:03) Karena itu kan kita tahu sekarang 60-70% itu khusus untuk pemberdayaan. (3:13) Pemberdayaan itu salah satunya bagaimana masyarakat juga diajarin ini produk-produk mereka supaya tersertifikasi.(3:20) Harusnya dana itu juga diambilkan dari sana. (3:23) Sehingga masyarakat juga bisa secara mandiri bisa menaikkan nilai tambah dan seterusnya. (3:28) Jadi kan masyarakat itu untungnya udah tipis kemudian harus mengurus sertifikasi nambah produk lagi

(3:35) Mereka mikir lagi. (3:36) Padahal kita secara nasional juga sudah diarahkan bagaimana produk-produk lokal kita sudah bersertifikasi minimum halal. (3:43) Nah itu yang mungkin menjadi tantangan.

3:47) Jadi memang di lapangan itu ketika produknya banyak kemudian kita inisiasi untuk lebih menambahkan nilainya editing value. (3:59) Tapi memang tantangan-tantangan itu yang mungkin belum semua stakeholder para pihak itu support di dalamnya. (4:07) Governmentnya lah, non-governmentnya juga demikian.

(4:11) Jadi kendalanya seperti itu. (4:12) Ini produknya apa gitu? (4:15) Jadi kita produknya itu salah satunya madu. (4:20) Kemudian yang kedua itu terkait dengan produk-produk pertanian ya.(4:26) Kalau itu sih karena produk pertanian ini ya fast selling gitu. (4:32) Kayak cabai gitu nggak ada masalah dengan produk seperti itu. (4:35) Tapi kalau madu itu juga penting.

(4:38) Kemudian yang saya kemarin itu juga ada dampingnya itu terkait dengan PCO ya. (4:45) PCO Virgin Coconut Oil itu juga demikian. (4:48) PCO itu juga tantangannya sudah lah proses extraction-nya lumayan gitu ya.(4:54) Sudah ada sertifikasi. (4:56) Lifetime-nya expired-nya juga pendek. (5:01) Itu kendalanya juga tuh.(5:03) Sudah lambangnya pendek, sudah sertifikasi, biayanya juga terakumulasi, jadi banyak. (5:10) Jadi HPP-nya menjadi naik, Mbak. (5:13) HPP naik, begitu dijual.

5:15) Kalau di pasaran menjadi tinggi kita nggak belum tahu (5:17) di mana slot yang bisa membuang barang itu tentu itu kesulitan. (5:22) Jadi kalau sudah proses-proses itu kan kita sudah mulai mendekati (5:26) dengan pola-pola industrialisasi profesional ya. (5:29) Walaupun kecil tapi harus mengalahnya ke sana.(5:32) Lagi-lagi ya kalau sudah seperti itu kita harus ketemu pasar yang besar. (5:38) Tapi kalau ketemu pasar retail yang besar biasanya kendalanya ada. (5:41) Kita modalnya paling harus tiga kali lipat.

Maksudnya kita mau suplai ke supermarket, sebuah layan besar. (5:47) Sebuah layan itu kan dia akan bayar yang terjual. (5:51) Kemudian dijualnya dia harus modalnya tiga kali lipat (5:54) karena bisa jadi yang di-drop sekarang itu akan dibayar nanti tiga bulan yang akan datang.(6:00) Sementara setiap bulan dia harus ngedrop. (6:02) Nah petani harus butuh dana cadangan tiga kali untuk satu barang. (6:08) Nah tantangannya seperti itu.

Kemudian di madu itu per tiga bulan satu ton.(6:32) Itu di daerah Makteduh sana. (6:37) Makteduh itu di Kampar. (6:40) Di Pelalauan tapi di sepanjang menanjung Kampar itu.(6:45) Satu ton itu dihasilkan oleh berapa banyak petani? (6:49) Itu kan dari kelompok tani kalau nggak salah kemarin hampir sekitar 260-an kelompok tani itu. (6:57) Jadi dia punya namanya kepungan-kepungan siarang. (7:00) Balik lagi ke soal yang sertifikasi halal.

(13:49) Jadi intinya dari sisi anggota PHRI secara seluruhan (13:55) ternyata banyak yang belum siap. (13:59) Dan itu sebetulnya bukan hanya anggota PHRI saja, (14:02) tapi juga di luar anggota PHRI. (14:04) Nah ketidaksiapan itu apa sebetulnya yang dikeluhkan? (14:08) Pertama adalah dari sisi rata-rata biaya.(14:12) Satu biaya, kedua dari sisi prosesnya (14:16) ya ternyata juga cukup rumit ya di lapangannya. (14:21) Jadi proses itu dari sisi asesornya dan sebagainya (14:25) karena memang ini kan wajib ya, (14:28) jadi begitu banyak orang yang harus tertiap-tiap (14:31) itu juga jadi masalah dari sisi regulasi dan waktunya. (14:36) Ketiga dari sisi implementasinya di lapangan.

(14:39) Implementasinya di lapangan itu banyak yang begini, (14:44) jadi mereka itu seperti contohnya adalah (14:48) yang memang menyajikan bir misalnya gitu ya. (14:52) Jadi mereka sebenarnya ada birnya gitu ya. (14:54) Nah itu otomatis kan mereka bagaimana gitu.(14:58) Jadi memang yang mereka tidak memang harus bersetifikasi halal, (15:05) itu juga sebenarnya jadi masalahnya, jadi repot juga. (15:07) Karena ini wajib semua jadi gak jelas di lapangannya. (15:09) Jadi implementasi yang menjadi masalah.

(15:12) Terus misalnya contohnya adalah biaya itu dihitung paket. (15:19) Ada menu, tambah menu, berubah lagi gitu. (15:22) Jadi hal itu juga menjadi masalah.(15:25) Jadi implementasinya itu tidak mudah. (15:28) Nah terus yang problem adalah dari sisi yang keempat bahan baku. (15:35) Bahan baku itu juga bagaimana kalau bahan baku itu diimport dari luar negeri (15:40) dan itu ternyata tidak ada setifikasi halal.

(15:43) Atau bahan baku dalam negeri itu juga bisa jadi masalah. (15:47) Nah yang kelima adalah kita juga mulai melihat ada kekhawatiran (15:53) ini di cari-cari permasalahan di lapangan. (15:59) Ada orang-orang yang udah mulai mencari-cari masalah (16:08) dengan ada sedikit intimidasi tapi halus gitu.

(16:17) Terjadi seperti itu juga. (16:18) Nah jadi atas masalah ini kami sudah menyampaikan kepada Kemenpar (16:23) yang jadi pembina kita. (16:26) Dan pada waktu di terakhir penghujung Pak Sandiuno letak jebatan (16:32) dia sudah mengordinasi ini.(16:34) Kemenpar yang nantinya akan melakukan koordinasi dengan Kementerian Agama dan BPJPH. (16:39) Nah kira-kira begitu. (16:40) Jadi kalau dari kami usulannya memang harus dilihat lagi lapangan ini.

16:46) Sebenarnya kita sudah peringatkan kalau dipaksa nanti (16:48) pasti akan jadi masalah di dalam implementasinya. (16:53) Sosialisasinya memang sudah? (16:54) Sudah kita lakukan. (16:57) Sudah setiap hari, tahun lalu juga kita lakukan.(17:02) Sosialisasi tergantung daripada orang yang mau melakukan implementasinya. (17:09)

Kalau dari PKRI sendiri? (17:12) Jadi sebaiknya gimana Pak? (17:13) Kalau kita mengusulkan, diundur waktunya. (17:19) Undur waktunya paling nggak 2 tahun deh.(17:22) Sambil direview lagi nih masalahnya seperti apa. (17:25) Jadi kerancuan-kerancuan di lapangan ini perlu didudukan dulu. (17:30) Karena kalau tidak memang terjadi orang yang cenderung akhirnya menjadi apa artis.

17:43) Udah deh terserah deh mau gimana gitu loh. (17:45) Itu kan juga nggak bagus juga ya. (17:48) Karena kenyataannya biaya sertifikasi itu yang paling mahal.(17:53) Jadi biaya itu kan bukan hanya yang di cas ke BLU aja. (17:56) Tapi kan ada biaya asesor, biaya laboratorium dan sebagainya yang jumlahnya signifikan. (18:02) Itu bisa antara 30-70 juta.(18:07) Nah itu dikeluarkan oleh si pelaku usahanya. (18:10) 30-70 juta itu untuk biaya total? (18:13) Untuk biaya total. (18:14) Minta maaf nih aku harus rapatin jam selamat nih.

Kasmujiono, Manajer Hutan Riau Earthworm

sejauh ini itu memang kita terkendala untuk berbagai proses-proses sertifikasi, terutama halal. (0:28) Kawan-kawan ini juga kan butuh dampingannya karena satu tidak tahu terkait dengan prosesnya, yang kedua aksesnya seperti apa, (0:36) yang ketiga adalah yang mereka tahu itu kan butuh dana besar untuk menstertifikasi produknya itu.

(0:46) Yang kedua, yang mereka takutkan itu adalah nilai tambah dari setelah disertifikasi itu berapa persen.(0:53) Kadang-kadang setelah ada label halal, kemudian nilainya dinaikan, produknya tidak laku, itu kendala. (1:02) Ini yang selalu kita, sulit untuk mencari jalan keluarnya. (1:10) Kebanyakan di level petani itu, mereka jual grosiran, dengan jual di grosiran mereka tidak mikir lagi mau ngurusin A, B, C, dan sebagainya.

Yang penting ada barang kirim, biarpun untungnya sedikit tapi untungnya banyak. (1:27) Nah itu yang paradigma saat ini terjadi di lapangan. (1:32) Kita editing value-nya ya dengan cara memberikan sertifikasi, (1:35) cuman lagi-lagi bahwa nilai tambah untuk sertifikasi itu belum signifikan buat mereka.

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |