Semangat Pelestarian Tenun dan Hutan Adat Kalimantan Lewat Festival Tenun Iban Sadap 2025

6 days ago 19

Liputan6.com, Jakarta - Tenun bagi masyarakat adat Iban Sadap bukan sekadar kain. Ada nilai sebagai manusia yang diwariskan antar-generasi selama ratusan tahun. Ada pula bukti bahwa manusia tergantung pada hutan sehingga keberadaannya perlu dilestarikan. Semua itu dirangkum dalam Festival Tenun Iban Sadap 2025 yang berlangsung pada 17--20 Desember 2025.

"Festival ini bukan sekadar pameran kain. Ini adalah perayaan hubungan manusia, alam, dan pengetahuan leluhur yang terus hidup di dalam rumah panjang kami," kata Moses Bungkong, Ketua Panitia Festival Tenun Iban Sadap 2025 dalam keterangan tertulis yang diterima Lifestyle Liputan6.com, Sabtu, 13 Desember 2025.

Ia melanjutkan, bahwa bagi masyarakat Iban Sadap, praktik menenun bukan hanya kegiatan produksi, tetapi tindakan merawat dan memperkuat hubungan dengan alam. Hutan adat menyediakan pewarna alam, bahan baku dan inspirasi motif; sementara tenun menjadi media untuk meneruskan nilai spiritual, kosmologi Iban dan kedekatan dengan alam kepada generasi muda.

Festival yang digelar komunitas masyarakat adat Rumah Panjang Iban Sadap itu akan dipusatkan di Embaloh Hulu, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Festival itu merupakan implementasi dari Perencanaan Pengelolaan Wilayah Adat (PPWA) dan disusun bersama masyarakat adat.

Tahun ini, festival mengusung tema Merawat Alam, Menenun Pengetahuan. Pengunjung akan diajak mengikuti serangkaian kegiatan, mulai dari pameran tenun, workshop pewarna alam, kelas menenun, seminar budaya, pertunjukan seni, hingga kunjungan ke ruang hidup masyarakat adat.

"Melalui tenun dan pewarna alam, masyarakat memperkuat identitas budaya sekaligus menjaga hutan adat sebagai sumber kehidupan," kata Herkulanus Sutomo Manna, AMAN Kapuas Hulu.

Motif dan Proses Pembuatan Tenun Iban Sadap

Moses menyatakan bahwa tenun iban sadap memiliki berbagai motif khas yang masing-masing mengandung makna dan doa. Motif biring misalnya, bermakna perlindungan dan kekuatan. Ada pula motif enkerumong yang bermakna harmoni keluarga. Tenun iban sadap juga memiliki motif tingang yang bermakna hubungan dengan alam dan engkebang yang mengandung perjalanan hidup.

Di luar itu, ada motif tauk randauentimau, silup langit, karak jangkit, tersang pedara dan lainnya yang bukan sekadar pola visual. Setiap garis, warna dan motif merekam jejak memori leluhur, hubungan spiritual dengan alam, serta struktur sosial masyarakat adat.

Keunikan lain dari tenun Iban sadap adalah penggunaan teknik tradisional ikat dalam proses pembuatannya. Benang diwarnai sebelum ditenun sehingga menghasilkan motif yang presisi dan mendalam.

Tahapan prosesnya diawali dari memintal, mengikat motif, mewarnai, hingga menenun. Seluruhnya dilakukan secara manual oleh para perempuan Dayak Iban Sadap, membutuhkan waktu berminggu-minggu hingga berbulan-bulan untuk selembar kain.

Pewarna Alam dari Hutan Adat

Keunikan lainnya dari tenun iban adalah pewarna alam yang dipakai. Di antaranya, mengkudu (Morinda citrifolia) untuk warna merah, taruh (Indigofera tinctoria) untuk warna biru, kayu kuning, hingga daun dan akar tertntu untuk menghasilkan variasi warna alam lainnya. Seluruhnya didapat dari hutan adat.

"Tidak hanya mempertahankan estetika tradisi, penggunaan pewarna alam menjadi simbol siklus keberlanjutan, di mana pewarna hanya dapat diperoleh jika hutan tetap lestari," kata Moses.

Tenun, sambung Herkulanos, menjadi bukti bahwa perlindungan hutan bukan hanya kewajiban ekologis, tetapi juga bagian dari keberlanjutan budaya, karena ketika hutan hilang warisan menenun pun ikut terancam. Maka, salah satu kegiatan dalam festival itu adalah menanam bibit pewarna alam.

"Festival ini juga menjadi ruang bagi pecinta wastra, kurator, media, akademisi dan lembaga pelestari budaya untuk memahami filosofi motif Iban, mendukung regenerasi penenun dan memperkuat ekosistem ekonomi keluarga berbasis tradisi," imbuhnya.

Semangat Meregenerasi Penenun Dayak Iban

Usaha pelestarian tenun Iban tidak hanya datang dari masyarakat sendiri, tapi juga dari masyarakat di luar daerah. Salah satunya ditunjukkan oleh Yayasan Kawan Lama yang berkolaborasi dengan Lingkar Temu Kabupaten Lestari dan desainer Wilsen Willim. Mereka bertekad memastikan regenerasi penenun terjadi di kalangan masyarakat adat dayak Iban.

Mereka menggelar pelatihan dengan pendekatan Training of Trainers (ToT) yang melibatkan 20 penenun perempuan sebagai fasilitator lokal. L ebih dari 80 penenun lain di wilayah Kapuas Hulu dijangkau. Hingga Juli 2025, tercatat lebih dari 100 penenun aktif terlibat.

Ketua Yayasan Kawan Lama, Tasya Widyakrisnadi, mengatakan melalui rilis pada Lifestyle Liputan6.com, Kamis, 24 Juli 2025, upaya tersebut berangkat dari keyakinan bahwa pelestarian budaya tidak cukup sampai produk, tapi juga memerlukan semangat keberlanjutan di komunitasnya. Karena itu, regenerasi penenun jadi kunci pelestarian yang tidak kalah penting.

Dengan membuka akses pendidikan bagi anak-anak penenun, program ini tidak hanya menanamkan nilai budaya sejak dini, tapi juga menyiapkan generasi penerus yang mampu merawat dan mengembangkan warisan tersebut. Inisiatif ini dianggap jadi bagian penting dalam membangun ekosistem budaya yang lestari, inklusif, dan berdaya lintas generasi.

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |