Kisah Perempuan Wirausaha Berbisnis Cabai Kering dan Bawang Goreng, Diekspor ke Taiwan hingga Bisa Buka Kos-kosan

Liputan6.com, Jakarta - Ulfa menjadi model ketangguhan penerima manfaat program pemberdayaan Kita Berdaya. Awalnya, perempuan wirausaha berusia 36 tahun itu meminjam modal lewat program tersebut untuk memulai usaha warung kelontong. Namun, usahanya tak berhenti di situ. Ia melihat peluang dari menjual produk olahan khas Cirebon, yaitu cabai kering dan kacang bawang.

Bekerja sama dengan adiknya yang bekerja sebagai pekerja migran di Taiwan, ia menjual cabai kering dan kacang bawang ke sana. Adiknya juga membantunya mempromosikan dagangan lewat siaran langsung TikTok di sana. Ulfa bertugas berbelanja bahan baku dari Indonesia dan mengirimkannya setiap dua minggu sekali. 

Ia memproduksi cabai kering sendiri. Dari empat kilogram cabai segar, setelah diolah, termasuk diblender, ia menghasilkan sekitar enam kilogram cabai kering. Dari berat itu, ia bisa mengemasnya ke dalam sekitar 30 pouch cabai kering. 

"Kalau cabe itu saya dua minggu sekali bisa 5 sampai 6 kilo sekali bikin. Itu tuh dapat sekitar 30 pouch ya," tutur Ulfa kepada Lifestyle Liputan6.com, ditemui di sela acara Empowering Women-Led Businesses: Media Engagement for Women's Entrepreneurship Day, di Jakarta, Rabu, 19 November 2025.

"Kalau saya di sini nih jual yang kacang bawang satu pouchnya itu Rp 15 ribu. Kalau yang ini (cabai kering) Rp 20 (ribu) satu pouchnya. Kalau di sana (Taiwan) jualnya sih terserah adik saya, yang penting jadi ongkos sana sama sini udah ditanggung gitu," imbuh Ulfa.

Program pemberdayaan yang diikuti Ulfa menawarkan lebih dari sekadar pelatihan; program ini menyediakan pinjaman modal usaha. Menurut Ulfa, program itu sangat membantunya mengatasi tantangan sebagai pedagang.

Ia pun berusaha menunaikan kewajibannya dengan mengembalikan pinjaman secara mingguan dengan bunga kecil. "Ya dipermudah karena kan kita kan orang dagang. Tahu sendirilah gitu ya maksudnya," ujar Ulfa.

Berkat bantuan modal tersebut, Ulfa tidak hanya mampu menjalankan warung kelontong dan bisnis ekspornya, tetapi juga mencapai kemajuan signifikan dalam meningkatkan aset keluarga. Ia bahkan bisa merenovasi kontrakan miliknya yang sudah bertahun-tahun tidak pernah diperbaiki dengan meminjam Rp30 juta. Ia mengambil pinjaman renovasi tersebut dengan tenor dua tahun. 

Dengan pinjaman ini, ia dapat merenovasi 20 pintu kontrakan (kos-kosan), yang kini disewakan dengan harga bervariasi, tergantung ukuran dan letaknya. Saat ini, sekitar 20 penghuni telah menempati unit-unit tersebut. 

"Per bulan tergantung, kalau di atas bisa Rp400 ribu, kalau di bawah tergantung ukurannya. Ada yang Rp500 ribu, ada yang Rp600 ribu, ada juga yang Rp800 ribu," urainya.

Penghasilan dari kontrakan dan usaha dagangnya mampu menutupi pembayaran bulanan. Selain itu, yang paling membanggakan bagi Ulfa adalah ia kini bisa menabung, sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. "Ya Alhamdulillah anak saya tuh enggak ada yang putus sekolah," ujarnya.

Program Kita Berdaya, yang diimplementasikan YCAB Foundation, merupakan hasil kolaborasi strategis antara YCAB Foundation, HSBC Indonesia, dan Kementerian UMKM. Nama programnya merupakan singkatan dari Komunitas Inklusif Tangguh dan Andal Belajar Dagang Sampai Kaya. 

Program ini bertujuan untuk memberdayakan wirausaha ultra mikro, khususnya perempuan, yang merupakan tulang punggung ekonomi Indonesia. Riza Adha Damanik, Deputi Bidang Usaha Mikro Kementerian Koperasi & UMKM, menyebut lebih dari 64 persen dari 65,5 juta UMKM Indonesia dimiliki oleh perempuan, yang berkontribusi sekitar 60 persen terhadap PDB nasional dan mempekerjakan 97 persen dari total tenaga kerja. 

Program ini tidak hanya berfokus pada aktivitas, tetapi pada pemberdayaan inti dengan tujuan meningkatkan pendapatan harian dan mendorong kepercayaan diri dalam perencanaan masa depan dan pengambilan keputusan keuangan. Dampak signifikan lainnya adalah peningkatan tabungan.

"Kami tahu bahwa satu-satunya hal yang membuat orang tangguh adalah tabungan, memiliki sedikit uang di bank, dan kemudian kami melihat peningkatannya," jelas Veronica Colondam, Founder dan CEO YCAB Foundation. 

Adha menyebut wirausaha perempuan di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan signifikan. Salah satu isu terbesar adalah kesulitan mendapatkan akses pembiayaan. Deputi Bidang Usaha Mikro Kementerian UMKM juga mencatat bahwa banyak perempuan, baik di negara berkembang maupun maju, masih belum memiliki akun bank.

"Kalau kita lihat datanya, sebagian besar dari perempuan di dunia dan saya kira juga terjadi di Indonesia itu masih sulit mendapatkan akses pembiayaan. Bahkan diantaranya itu belum memiliki akun bank," ujar Riza Adha.

Tantangan lainnya berkaitan dengan manajemen keuangan dan bisnis yang baik. Data menunjukkan bahwa hanya 7,74 persen UMKM yang memiliki pembukuan yang baik. Hal ini menjadi penghalang untuk mendapatkan akses pembiayaan lebih lanjut dan membuat perencanaan bisnis yang efektif.

Di era saat ini, tantangan terbesar juga terletak pada adaptasi ekosistem digital. Diperkirakan 30 persen UMKM kini sudah berjualan melalui WhatsApp, menunjukkan peningkatan dari 7--8 persen pada 2018, namun kebutuhan akan pendampingan berkelanjutan dalam trik dan teknik digital masih sangat tinggi karena persaingan yang semakin padat. 

"Ke depan, pemerintah memprioritaskan lima hal untuk akselerasi UMKM perempuan, termasuk formalisasi/legalisasi usaha, akses pembiayaan, kemitraan dan rantai pasok, digitalisasi UMKM, serta pelatihan dan pendampingan. Program seperti “Kita Berdaya” diharapkan dapat terus direplikasi dan ditingkatkan untuk mengatasi tantangan ini secara strategis," ujar Riza Adha.