Liputan6.com, Jakarta - Masalah pembayaran royalti di Indonesia belum juga menemukan titik terang. Sengketa masih terus berlangsung dengan pihak-pihak yang berseteru mengambil jalan hukum untuk menyelesaikannya. Di sisi lain, pemerintah menyiapkan solusi agar masalah yang membuat musisi dan pencipta lagu saling berseberangan bisa kembali bersatu.
Kementerian Ekonomi Kreatif (Kemenekraf) dalam hal ini mendorong agar sistem pembayaran royalti menerapkan skema blanket liscense (lisensi menyeluruh) berbasis digital. Konsep itu mewajibkan para musisi atau penyelenggara acara membayar royalti di muka sebelum konser berlangsung.
Dalam skema ini, royalti dihitung berdasarkan daftar lagu (songlist) yang akan dibawakan dalam acara dan dibayarkan langsung kepada komposer atau pemegang hak cipta secara prorata sesuai jumlah lagu.
"Salah satu penyelesaian masalah ini adalah digitalisasi serta dengan melakukan pembayaran di depan, menjadikannya komponen tersendiri berdasarkan songlist," kata Direktur Musik Kemenekraf Mohammad Amin dalam rilis yang diterima Lifestyle Liputan6.com, Jumat, 25 April 2025.
Aturan itu berbeda dengan skema yang berjalan saat ini, yakni pembayaran royalti konser ditetapkan sebesar dua persen dari nilai produksi atau penjualan tiket. Skema ini dinilai tidak relevan karena royalti baru dibayarkan setelah acara selesai, menimbulkan risiko keterlambatan atau bahkan penghindaran pembayaran oleh promotor atau event organizer (EO).
Isu itu menjadi salah satu temuan penting dalam kajian kebijakan terkait perlindungan hak cipta, khususnya mengenai sistem lisensi dan pembayaran royalti, lewat Focus Group Discussion Masukan Pemerintah atas Rancangan Undang-Undang tentang Hak Cipta Bidang Musik dan Lagu yang dilaksanakan di Guest House BPSDM Kementerian Hukum, Gandul, Depok, Jawa Barat, pada Selasa, 22 April 2025.
Bagian Penguatan Ekosistem Ekraf
Kemenekraf disebutkan turut membantu Kementerian Hukum dalam menyusun policy brief pada Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) 2024 berdasarkan kajian kualitatif yang dilakukan sepanjang 2024. Kajian tersebut melibatkan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari komposer, hingga asosiasi profesi dan lembaga kolektif, seperti Vibrasi Suara Indonesia (VISI); Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI); Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN); perwakilan Federasi Serikat Musik Indonesia (FESMI); Perwakilan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia (PAPRI); perwakilan Anggota Tim Kerja Direktorat Hak Cipta dan Desain Industri DJKI Kementerian Hukum; dan anggota Tim Kerja Bagian Program dam Pelaporan DJKI Kementerian Hukum.
Upaya ini merupakan bagian dari komitmen Kemenekraf dalam mendukung ekosistem ekonomi kreatif yang adil, berkelanjutan, dan adaptif terhadap perubahan. Menteri Ekonomi Kreatif (Ekraf), Teuku Riefky Harsya menyampaikan bahwa inisiatif ini sejalan dengan visi pemerintahan Prabowo–Gibran dalam Asta Cita ketiga, terutama poin yang menitikberatkan pada penguatan industri kreatif nasional.
Hal itu juga menjadi bagian dari delapan prioritas sektor ekonomi kreatif atau Asta Ekraf, yakni "Ekraf Kaya" yang menekankan pentingnya perlindungan kekayaan intelektual, serta "Ekraf Bijak" yang fokus pada penguatan regulasi dan kelembagaan.
"Penerapan serta perubahan dalam suatu kebijakan ini sejalan dengan visi pemerintahan melalui Asta Cita ketiga dan juga merupakan dari prioritas Kemenekraf, Ekraf Kaya dan Ekraf Bijak," ujarnya.
Dorong Digitalisasi Pengelolaan Royalti
Selain pembayaran royalti di muka, Kemenekraf juga mendorong digitalisasi pengelolaan royalti oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Kebijakan itu untuk menciptakan sistem yang lebih transparan dan efisien. Dalam proses ini, LMKN diharapkan memberikan masukan atas revisi Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No. HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016, khususnya Pasal 1, untuk mengharuskan pembayaran royalti dilakukan sebelum konser dilaksanakan.
Skema pembayaran yang diusulkan mencakup standar tarif royalti, misalnya sebesar 10 persen dari honorarium artis, yang kemudian dibagi proporsional kepada komposer berdasarkan jumlah lagu yang dibawakan. Royalti ini juga diusulkan untuk dimasukkan ke dalam Rencana Anggaran Biaya (RAB) pada suatu acara sebagai komponen tersendiri baik sebagai bagian dari riders, biaya produksi, atau dikaitkan langsung dengan pembayaran honor artis.
Dalam jangka panjang, Kemenekraf mendorong pembuatan platform digital nasional yang memuat basis data lagu yang terdaftar dan terlisensi. Melalui platform ini, end user dapat memilih lagu secara legal, dan sistem akan secara otomatis menghitung serta menyalurkan royalti sesuai ketentuan. Bukti pembayaran royalti juga akan dijadikan sebagai salah satu persyaratan dalam pengajuan izin keramaian kepada pihak Kepolisian, sehingga menjamin perlindungan hukum bagi seluruh pihak terkait.
Ariel NOAH Luruskan Pernyataan soal Musisi yang Pakai Lagunya Tak Perlu Minta Izin
Sebelumnya, Ariel NOAH meluruskan pernyataannya yang memunculkan anggapan orang-orang bahwa dirinya mengizinkan dan merelakan royalti secara gratis begitu saja saat para penyanyi kafe membawakan semua lagu ciptaannya. Anggapan orang-orang terhadap Ariel NOAH tersebut sempat membuat Ahmad Dhani salah paham dan melontarkan pernyataan kontra kepada Ariel.
Dalam bincang-bincang terbaru di sebuah program, Ariel NOAH menyampaikan bahwa maksud dari pernyataan sebelumnya adalah penyanyi tak harus repot-repot meminta izin secara langsung kepadanya. Namun, bukan berarti ia menggratiskan royalti dan performing rights begitu saja.
"Tak masalah, nyanyikan aja. Karena kan, pasti banyak penyanyi yang membawakan lagu aku. Kalau mesti izin semua agak repot, ya," ujar Ariel NOAH berusaha meluruskan saat berbincang dengan Denny Sumargo, menyimak konten di kanal YouTube CURHAT BANG Denny Sumargo, dikutip Kamis, 3 April 2025.
"Saya luruskan karena kemarin ada yang salah tangkap dan mengira ‘Boleh pakai, tak perlu bayar’. Bukan begitu... Yang saya bilang, ‘Silakan pakai, tak perlu izin’. Beda lo, ya," sambung Ariel menegaskan.