Indonesia Teken Kerja Sama Perdagangan Karbon Global, Apa Dampaknya bagi Lingkungan Hidup?

20 hours ago 7

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) resmi menandatangani perjanjian pengakuan bersama (MRA) dengan Gold Strandard, program kredit karbon independen internasional, sehubungan perdagangan karbon secara global. Kolaborasi ini dilakukan guna pencapai target pemangkasan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 persen dengan kemampuan sendiri dan 43,2 persen dengan dukungan negara lain sesuai penetapan Enhanced-Nationally Determined Contribution (E-NDC) pada 2030.

"(Pengurangan emisi gas rumah kaca) bisa dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya melalui nilai ekonomi karbon. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021, pemerintah diperkenankan melakukan mutual accomplished agreement dengan skema lain, skema di global, dalam perdagangan karbon internasional," kata Menteri Lingkungan Hidup (MenLH)/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Hanif Faisol Nurofiq di Jakarta, Kamis, 8 Mei 2025.

MenLH berjanji, pihaknya akan memanfaatkan perdagangan karbon "sebaik-baiknya, namun tetap dalam kontrol pemerintah Indonesia." Ia memaparkan, merujuk MRA tersebut, seluruh aktivitas terkait perdagangan karbon harus melapor ke pemerintah Indonesia, mulai dari pra-transaksi sampai nantinya selesai.

"Saat ada transaksi, itu wajib dilakukan di pasar Indonesia. Kemudian, wajib juga mengikuti segala regulasi di Indonesia, yang salah satunya adalah pajak," ungkapnya, menambahkan bahwa penetapan pajak dari perdagangan karbon akan diurus Kementerian Keuangan.

"Apa yang didapat nanti (dari perdagangan karbon), kami akan kawal (guna memastikan) dana itu digunakan untuk berdampak langsung pada penurunan maupun penyerapan emisi gas rumah kaca, terutama di dua sektor terbesar: energi, serta kehutanan dan lahan," beber MenLH.

Pengawasan Dana Perdagangan Karbon

Hanif melanjutkan, "Kalau bisa diakselerasi dengan sangat sistematik dan strategis, harapan kami, apa yang kita komitmenkan pada global untuk jadi net zero emission pada tahun 2050 bisa tercapai." Faktor pendukungnya, menurut Hanif, sudah cukup.

"Kita memiliki hutan tropis yang cukup luas. Kemudian, mangrove seluas 4 juta (hektare). Ini semuanya memerlukan pembiayaan untuk kemudian meningkatkan serapan (emisi karbon)," ungkapnya.

Pihaknya, bersama kementerian/lembaga lain, berjanji akan mengawasi dana dari perdagangan karbon supaya hanya digunakan dalam upaya menurunkan maupun menyerap emisi gas rumah kaca. MenLH menjelaskan, ada dua skema kerja sama mereka dengan Gold Standard, yakni voluntary dan compliance.

"Skema voluntary, yakni saat tidak terjadi perpindahan data karbon, kami tidak melakukan otorisasi dan pencatatan pemindahan," sebut Hanif. "Tapi bila itu compliance, ada pencatatan dan otoritasi, jadi kami mencatat pengurangan (karbon), di sana mencatat penambahan (nilai perdagangan karbon).”

Setelah Gold Standard, Indonesia akan menjalin kerja sama perdagangan karbon dengan pihak-pihak, bahkan negara lain.

Jalin Kerja Sama dengan Pihak Lain

MenLH menyebut, "MRA yang sudah sangat siap itu dengan Norwegia, telah dibahas detail. Kami harapkan, dua atau satu minggu dari sekarang semestinya selesai. Kalau sudah selesai, saya ingin sekali mengajak teman-teman OJK untuk signing di Oslo, supaya langsung bertemu dengan potensial buyer. Jadi tidak lagi pakai perantara."

"Selanjutnya, beberapa sudah menunggu dari Korea Selatan, Jepang, dan Denmark. Dari skema voluntary, MRA dengan Verra sedang disiapkan," ungkapnya. Hanif menggarisbawahi, penting untuk menjaga integritas dan kredibilitas supaya mata uang karbon Indonesia tetap bernilai.

Selain perdagangan karbon, Indonesia dan negara-negara lain, sebut MenLH, tengah menyusun biodiversity credit. "Keanekaragaman hayati Indonesia tidak dimiliki negara lain, makanya bersama negara-negara lain, kami tengah menyusun perdagangan biodiversitas untuk melengkapi perdagangan karbon,” sebut dia.

Melansir CNA, Minggu (11/5/2025), para pemimpin dunia menciptakan pasar karbon internasional pertama dengan Protokol Kyoto tentang Perubahan Iklim PBB tahun 1997. Perdagangan karbon dilakukan dengan meminta perusahaan dan entitas lain membayar setiap ton karbon dioksida yang dilepaskan ke atmosfer.

Skema Perdagangan Karbon

Ada dua cara untuk melakukannya. Pertama, melalui pajak karbon, yang merupakan harga tetap yang harus dibayarkan untuk setiap ton karbon yang dilepaskan. Pemerintah biasanya menetapkan tingkat pajak berdasarkan bahan bakar fosil yang digunakan.

Metode kedua adalah asal istilah "perdagangan" dalam perdagangan karbon, yang umumnya disebut sistem "batas dan perdagangan." Prinsip ini membatasi total emisi organisasi, dan memungkinkannya memperdagangkan alokasi berlebih.

Sistem perdagangan emisi Uni Eropa (EU ETS) adalah pasar perdagangan karbon terbesar di dunia, dan dianggap sebagai tolok ukur perdagangan karbon. Skema ini mencakup sekitar 10 ribu pembangkit listrik dan pabrik, serta maskapai penerbangan.

UE menetapkan batasan jumlah karbon yang dapat dikeluarkan setiap negara anggota setiap tahun. Perusahaan dengan jejak karbon lebih besar yang tidak dapat memenuhi jatah karbon mereka untuk tahun tersebut harus memasuki pasar sekunder untuk membeli unit atau kredit tambahan.

Kemudian, jika suatu organisasi berhasil mengurangi emisinya, ia dapat menjual unit berlebih di pasar. Setiap tahun, batasannya semakin ketat dan kumpulan jatah karbon yang menyusut jadi lebih mahal.

Read Entire Article
Online Global | Kota Surabaya | Lifestyle |