Liputan6.com, Jakarta - Tinggal di pinggiran kota sering kali dianggap sebagai pilihan ideal bagi banyak keluarga. Rumah yang lebih besar dengan lingkungan lebih tenang, dan akses ke ruang hijau alami, pinggiran kota menawarkan banyak keuntungan bagi kesehatan fisik dan mental penghuninya.
Namun, di balik semua kelebihan ini, terdapat ancaman tersembunyi yang dapat memengaruhi kesehatan penduduknya, yaitu alergi terhadap daging merah. Mengutip dari laman New York Post, 10 Mei 2025, penelitian terbaru dari University of North Carolina di Chapel Hill mengungkapkan bahwa penduduk pinggiran kota lebih rentan terhadap sindrom alfa-gal (AGS).
Syndrom ini adalah sebuah reaksi alergi yang berpotensi mengancam jiwa terhadap daging merah seperti sapi, babi, dan domba. Penyebab utama dari alergi ini adalah gigitan kutu, yang sering ditemukan di lingkungan suburban yang hijau dan lembap.
Kutu bintang tunggal, yang merupakan penyebab paling umum dari AGS, berkembang biak di wilayah tenggara, selatan-tengah, dan tengah Atlantik AS. Kutu ini sangat melimpah di Long Island, khususnya Suffolk County.
Air liur kutu mengandung molekul gula alpha-gal, yang ketika masuk ke dalam aliran darah manusia melalui gigitan. Jika masuk ke tubuh manusia, molekul ini dapat mengelabui sistem kekebalan tubuh untuk bereaksi terhadap daging merah seolah-olah itu adalah ancaman.
Gejala AGS biasanya muncul dua hingga enam jam setelah mengonsumsi daging merah dan dapat mencakup gatal-gatal, mual, tekanan darah rendah, dan kelelahan. Dalam kasus yang parah, reaksi ini dapat menyebabkan anafilaksis, yang memerlukan perhatian medis segera.
Pemetaan Kasus AGS yang Dikonfirmasi
Para peneliti dari UNC telah memetakan 462 kasus AGS yang dikonfirmasi di North Carolina, South Carolina, dan Virginia. Mereka menemukan bahwa pembangunan ruang terbuka dan hutan dengan campuran pepohonan menimbulkan risiko AGS terbesar.
Kutu suka bersembunyi di rumput tinggi dan semak-semak, menunggu untuk menyergap hewan atau manusia yang lewat. Meskipun AGS menjadi penyebab utama alergi yang terjadi pada orang dewasa di AS, dengan tingkat positifitas tes sebesar 30,5 persen, banyak kasus yang tidak dilaporkan.
Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) tidak mengharuskan penyedia layanan kesehatan untuk melaporkan kasus yang diduga. Para peneliti menekankan pentingnya memahami faktor lingkungan yang memengaruhi risiko AGS untuk mengidentifikasi populasi yang berisiko.
Perlu juga upaya mengembangkan strategi intervensi yang efektif, seperti kampanye pendidikan dan pengujian diagnostik. Dengan meningkatnya kasus AGS yang dilaporkan dari 24 pada 2009 menjadi lebih dari 34.000 pada 2019, penting bagi penduduk pinggiran kota meningkatkan kesadaran akan risiko ini. Menghindari area dengan rumput tinggi, menggunakan obat anti-kutu, dan memeriksa tubuh dan pakaian setelah beraktivitas di luar ruangan adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengurangi risiko gigitan kutu.
Kebanyakan Daging Merah Berisiko Diabetes Tipe 2
Mengutip dari kanal Health Liputan6.com, 25 Agustus 2024, sebuah studi mendukung klaim bahwa mengonsumsi daging olahan dan daging merah dapat meningkatkan risiko diabetes tipe 2. Para profesor di University of Cambridge di Inggris menganalisis data dari 1,97 juta orang dari 31 penelitian di 20 negara, termasuk 18 penelitian yang tidak dipublikasikan.
Para peneliti memperhitungkan usia partisipan, jenis kelamin, perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, asupan energi, dan massa tubuh. Mereka menyimpulkan bahwa kebiasaan mengonsumsi 50 gram daging olahan sehari, setara dengan dua potong ham yang dikaitkan dengan risiko 15 persen lebih tinggi terkena diabetes Tipe 2 pada 10 tahun berikutnya.
Mengonsumsi 100 gram daging merah yang belum diolah setiap hari, misalnya sepotong kecil steak, dikaitkan dengan risiko 10 persen lebih tinggi. Sedangkan konsumsi 100 gram daging unggas per hari dikaitkan dengan peningkatan risiko sebesar 8 persen.
"Penelitian kami memberikan bukti paling komprehensif hingga saat ini mengenai hubungan antara makan daging olahan dan daging merah yang tidak diolah dan risiko diabetes Tipe 2 yang lebih tinggi di masa depan," kata penulis studi senior Nita Forouhi, dari Unit Epidemiologi Dewan Penelitian Medis di Universitas Cambridge.
Perlu Penelitian Lebih Lanjut
"Ini mendukung rekomendasi untuk membatasi konsumsi daging olahan dan daging merah yang tidak diolah untuk mengurangi kasus diabetes tipe 2," tambahnya.
Forouhi mengatakan hubungan antara konsumsi unggas dan diabetes tipe 2 masih belum pasti dan perlu diteliti lebih lanjut. Diabetes tipe 2 terjadi ketika tubuh gagal memproduksi cukup insulin atau tidak menggunakannya dengan baik.
Lebih dari 38 juta orang Amerika, sekitar 1 dari 10 menderita diabetes, menjadikannya penyebab kematian kedelapan di negara ini. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa mengonsumsi lebih dari satu porsi daging merah sehari dapat meningkatkan risiko diabetes tipe 2 sebesar 62% lebih tinggi.
Departemen Pertanian AS menyarankan untuk membatasi konsumsi harian daging, unggas, dan telur hingga 4 ons. USDA mengatakan daging olahan seperti ham, sosis, dan daging deli, tidak boleh dikonsumsi lebih dari sekali seminggu.
Para peneliti Cambridge menawarkan beberapa kemungkinan penjelasan mengenai hubungan antara konsumsi daging dan risiko diabetes tipe 2, termasuk daging yang merupakan sumber protein hewani dan zat besi yang signifikan.