Liputan6.com, Jakarta - Selain langkah-langkah besar yang harus terus didesak, Anda bisa memulai aksi tidak-terlalu-kecil demi menyelamatkan Bumi. Garis start paling dekat tentu dengan melibatkan berbagai kebiasaan harian, termasuk dalam berpakaian.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021, melansir situs webnya, Jumat (22/11/2024), Indonesia memproduksi 2,3 juta ton limbah pakaian, atau setara 12 persen dari total limbah rumah tangga. Dari angka tersebut, hanya 0,3 juta ton yang berhasil didaur ulang.
Tidak kurang dari 80 persen limbah tekstil di Indonesia berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA). Angka itu seharusnya cukup membuat kita tergerak tanpa panik. Sebelum jauh melangkah ke berbagai inisiasi, Anda bisa memulai dengan memperkecil lemari pakaian, menurut Founder SukkhaCitta, Denica Riadini-Flesch.
Demi mendukung ide tersebut, Anda akhirnya harus memilih busana yang tidak hanya sesuai gaya pribadi, namun berkualitas baik, sehingga bisa berumur panjang. "Beli pakaian itu tidak dilihat semata dari harga saat membeli, tapi juga soal berapa kali bisa dipakai. Semakin lama durasi pakainya, harga baju sebenarnya jadi lebih murah," ungkapnya di acara pembukaan ekshibisi "Regenerasi" SukkhaCitta di bilangan Jakarta Pusat, Jumat.
Creative Director Sukkha Citta, sekaligus Co-Founder Rumah SukkhaCitta Foundation, Anastasia A. Setiobudi, memberi tips padu padan busana dalam jumlah minimalis. "Menurut aku, kelihatan banget diulang-ulang (memakai busana) sebenarnya neggak apa-apa. Kayak aku, aku selalu pakai ini sudah beberapa kali event," sebut dia di kesempatan yang sama, seraya menunjuk blazer hitam yang dipakainya.
Tips Padu Padan Busana
Ana, sapaan akrabnya, merekomendasikan untuk memadupadankan busana dengan berbagai aksesori. "Jadi tidak hanya dari baju, mungkin bisa gaya rambutnya (dibedakan)," ucap dia. Ia juga menyarankan menambah sentuhan warna berbeda dengan memakai scarf.
Lebih jauh lagi, Anda bisa mengulik fesyen regeneratif. Apa bedanya dengan sustainable fashion yang sudah lebih dulu diperkenalkan? Ana menjelaskan bahwa ungkapan "keberlanjutan" bertitik berat pada praktik yang tidak menambah beban Bumi.
Sementara itu, fesyen regeneratif dijelaskan sebagai inisasi "menambah kebaikan," di samping memastikan praktik tidak merusak Bumi lebih jauh. "Maka itu, kami menyoroti pelestarian tanah di ekshibisi ini dan cara menanam tanaman kapas, yang kami gunakan sebagai material busana kami, yang justru mengembalikan kebaikan tanah," beber dia.
Selain kapas, penanaman tanaman indigo, bahan pewarna alami yang mereka gunakan, juga diklaim dilakukan secara regeneratif. "Kami berusaha menanam dengan cara tumpang sari, jadi tanahnya jadi sehat lagi, karena penanaman monokultur itu sangat merusak tanah, tidak bisa dipakai lagi setelahnya," ia menjelaskan.
Fesyen Regeneratif
Menambahkan, Denica mengatakan bahwa fesyen regeneratif juga tentang transparansi. Ia berbagi, "Saat kita tahu dari mana asal pakaian itu, siapa yang membuat, dalam kondisi apa, dan bukan cuma mengurangi dampak buruk, tapi bagaimana itu bisa menciptakan lebih banyak dampak positif, itu yang namanya fesyen regeneratif."
Di koleksi SukkhaCitta, yang rilis mengikuti musim panen karena material mereka diklaim sepenuhnya berasal dari kebun, informasi itu bisa ditemukan di label busana. Pihaknya bahkan memuat acuan tentang berapa kali busana tersebut bisa dipakai, selain merekomendasikan perawatan.
Tidak berhenti di situ saja, karena mereka juga menawarkan jasa perbaikan busana yang rusak yang selaras dengan upaya menekan volume limbah tekstil. Pelanggan dipersilakan datang ke toko fisik mereka untuk berkonsultasi. "Bahkan, kami bisa mengubah warna bajunya, misalnya sudah bosan dengan warna tersebut," ucap Denica.
Bagi SukkhaCitta, kata dia, keistimewaan terbesar bukan tentang pelanggan membeli sebanyak mungkin, tapi memperkecil lemari mereka. "Kami mau ikut berperan menyelesaikan masalah over consumption dan over production," imbuhnya.
Keindahan di Antara Ketidaksempurnaan
Di balik berbagai tujuan besarnya, bukan berarti SukkhaCitta tidak menemui tantangan sepanjang jalan. Selain terus edukasi tentang meminimalkan pembelian busana, memproduksi fesyen regeneratif juga tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Ana berbagi, "Kami harus benar-benar bisa agile, karena mengikuti musim (panen). Kalau lagi cari inspirasi, aku biasanya ke desa. Di koleksi ini, misalnya, aku lihat tanaman indigo. Warna awal kapas kami itu biasanya putih atau cokelat alami, tapi pas lihat tanaman indigo lagi panen, aku pikir, kenapa tidak dipakai?"
Dalam konteks kondisi tidak menentu, ia juga menceritakan panen kapas yang kurang bagus tahu ini, yang mana ia mengutip krisis iklim sebagai penyebabnya. Karena itu, mereka harus "lincah berbelok" mencari berbagai alternatif.
"Karena tergantung dengan alam itu banyak tidak menentunya, aku harus pintar-pintar. Misalnya, alih-alih menganggap itu produk reject, aku harus bisa menyorotinya sebagai keunikan (busana)," ucap dia.
Dalam konteks ini, ia mencontohkan, karakter kain bermaterial kapas yang bertekstur. "Lalu baik, karena batik (buatan) tangan, pasti beda dong masing-masingnya. Aku harus menemukan keindahan di sesuatu yang tidak sempurna," tandasnya.