Liputan6.com, Jakarta - Di jantung Pulau Jawa bagian timur, berdirilah sebuah mahakarya alami yang begitu megah, gagah, dan menawan hati siapa saja yang pernah memandang atau menapakinya.
Gunung Semeru menjulang tinggi sebagai atap Jawa dengan ketinggian mencapai 3.676 meter di atas permukaan laut, Semeru bukan hanya sekadar titik tertinggi di Pulau Jawa, melainkan juga menjadi simbol kekuatan, misteri, dan keabadian alam yang tak terucapkan oleh kata-kata.
Gunung ini dikenal pula dengan nama Mahameru, yang berarti gunung agung, sebuah sebutan yang diwarisi dari kosmologi Hindu dan menggambarkan posisinya sebagai tempat bersemayamnya para dewa di Gunung Semeru.
Setiap langkah menuju puncaknya adalah seperti menelusuri lapisan-lapisan waktu dan dimensi dari hijaunya hutan tropis yang menyimpan keheningan, padang rumput luas di Ranu Kumbolo yang seperti oase surgawi, hingga hamparan pasir berdebu di Kalimati yang menguji keteguhan mental dan fisik.
Gunung ini bukanlah tujuan biasa. Ia adalah perjalanan spiritual, ujian ketabahan, dan persembahan kepada semesta yang tak pernah usai memperlihatkan keajaiban. Perjalanan menuju Gunung Semeru biasanya dimulai dari Ranu Pani, sebuah desa kecil di kaki gunung yang dikelilingi oleh udara dingin dan lanskap pertanian yang menyejukkan mata.
Dari sinilah para pendaki memulai ziarah mereka menuju atap Jawa, melalui jalur yang meski telah dilewati ribuan kaki, tetap terasa sepi dan sakral. Trek awal akan membawa langkah-langkah kita menuju Ranu Kumbolo, danau yang tenang di ketinggian 2.400 mdpl, yang sering dianggap sebagai hati dari Gunung Semeru.
Airnya yang jernih memantulkan cahaya pagi dengan lembut, seolah menyambut setiap peziarah dengan pelukan damai. Kabut tipis yang menyelimuti permukaan danau pada dini hari menciptakan suasana mistis, menambah kesan bahwa tempat ini memang bukan bagian dari dunia biasa.
Di sinilah banyak pendaki memilih bermalam, merenung di bawah langit bertabur bintang, meresapi kebesaran semesta yang terasa begitu dekat namun tetap tak terjangkau.
Trekking Menyenangkan
Melanjutkan pendakian dari Ranu Kumbolo, kita akan menjumpai Tanjakan Cinta, sebuah lereng curam yang sarat akan mitos dan harapan. Konon, siapa pun yang berhasil mendakinya tanpa menoleh ke belakang akan menemukan cinta sejatinya.
Namun, terlepas dari kepercayaan tersebut, tanjakan ini sejatinya menjadi simbol kecil dari kehidupan itu sendiri penuh perjuangan, dan hanya bisa dilalui oleh mereka yang konsisten memandang ke depan.
Setelah tanjakan ini, pendaki akan disuguhi pemandangan Oro-Oro Ombo, padang luas yang pada musim tertentu dipenuhi bunga berwarna ungu, seperti lavender, yang membentang sejauh mata memandang.
Tempat ini seolah menjadi jembatan antara dunia yang tenang dan dunia penuh tantangan yang menanti di Kalimati dan Arcopodo. Kalimati, area berpasir yang menjadi tempat perkemahan terakhir sebelum summit attack, adalah tempat kontemplasi.
Di sinilah para pendaki mempersiapkan diri untuk menghadapi bagian paling berat dan paling sakral dari pendakian menuju puncak Mahameru. Summit attack dimulai dini hari, biasanya sekitar pukul dua atau tiga pagi, ketika angin dingin menggigit dan langkah terasa lebih berat oleh pasir vulkanik yang menyesatkan.
Jalur menuju puncak adalah ladang ujian bagi mental dan fisik, setiap dua langkah ke atas diikuti oleh satu langkah meluncur turun. Tapi di sinilah esensi Semeru benar-benar terasa.
Setiap derap kaki di lereng Mahameru adalah teriakan dalam hati, panggilan keberanian, dan bisikan keikhlasan untuk menyatu dengan alam yang tak pernah bisa ditaklukkan, hanya bisa dihormati. Saat matahari mulai mengintip dari ufuk timur, langit perlahan berubah warna, dan puncak Semeru pun memperlihatkan dirinya dengan gagah: gersang, sunyi, dan anggun dalam kesendirian.
Di atas sana, di titik tertinggi Pulau Jawa, para pendaki berdiri dalam diam, terharu oleh kebesaran alam dan perjalanan jiwa yang telah mereka lalui. Dari puncak inilah kepulan asap kawah Jonggring Saloko terus menyembur sebagai tanda bahwa gunung ini hidup, bernafas, dan memiliki jiwa.
Namun Semeru bukanlah gunung yang bisa dianggap enteng. Ia adalah gunung berapi aktif yang telah beberapa kali memuntahkan material vulkanik yang mematikan. Kekuasaannya atas wilayah sekitarnya nyata dan tak terbantahkan.
Berbagai peringatan dan larangan pun diberlakukan, termasuk tidak disarankannya untuk mencapai bibir kawah karena aktivitas vulkanik yang tidak bisa diprediksi. Tragedi demi tragedi pernah terjadi, menjadi pelajaran abadi bahwa alam, seindah apapun, memiliki batas-batas yang wajib dihormati.
Pendakian ke Semeru tidak hanya menuntut kekuatan fisik dan logistik yang memadai, tetapi juga sikap rendah hati dan rasa tanggung jawab terhadap keselamatan diri dan kelestarian lingkungan. Menapaki Gunung Semeru adalah menyatu dengan ritme alam, bukan menguasainya.
Penulis: Belvana Fasya Saad