Liputan6.com, Jakarta - Saat ini makin sering muncul di pemberitaan soal kasus guru yang mendapat tekanan dari orangtua murid terkait dengan mendisiplinkan peserta didik. Bahkan ada yang berujung gugatan hukum karena dinilai melampaui batas dalam menghukum siswa.
"Fenomena orangtua menggugat guru ini bagian dari keterbukaan informasi dan pemahaman terhadap semua pihak terkait dengan bagaimana proses pendidikan dan pengajaran itu harus dilakukan," ungkap Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, dalam wawancara dengan Tim Lifestyle Liputan6.com, Kamis, 23 November 2024.
Lebih lanjut Ubaik mengatakan bahwa yang tidak boleh terjadi di sekolah adalah kekerasan kepada siapa pun, baik guru maupun peserta didik. "Jadi tidak boleh menggunakan cara-cara kekerasan dalam proses pendidikan," tegasnya.
Fenomena banyak orangtua melaporkan guru karena melakukan tindak kekerasan, menurut dia adalah tidak diperbolehkannya tindakan kriminalisasi. Misalnya, guru tidak melakukan tindak kekerasan namun dilaporkan oleh orangtua. Sebaliknya jika guru memang melakukan kekerasan, hal ini memang harus dilaporkan.
"Karena mendidik dengan cara kekerasan itu tidak boleh. Dilarang, dilarang oleh Undang-Undang, dilarang oleh Permendikbud (Peraturan Menteri Pendidikan) juga ada aturan larangan soal itu " cetusnya.
Melihat data secara nasional, guru sebagai korban kekerasan banyak dilakukan. Namun guru sebagai pelaku kekerasan, angkanya jauh lebih banyak. Lebih jauh, Ubaik mengatakan kasus kekerasan guru pada peserta didik maupun sebaliknya sebetulnya sudah terjadi sejak dulu. Tetapi dulu belum ada Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak, sehingga seakan-akan kekerasan pada peserta didik dulunya dinormalisasi.
Sejauhmana Orangtua Ikut Campur?
Ubaid mengatakan orangtua memang harus terlibat dalam proses pendidikan anak. Orangtua memiliki wadah seperti Komite Sekolah yang isinya perkumpulan orangtua yang harus terlibat langsung di sekolah, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai evaluasi kegiatan yang ada di sekolah.
"Jadi Komite Sekolah itu bukan rapat pungutan, bukan rapat patungan dana, itu salah kaprah. Komite Sekolah adalah wadah serikat orangtua sebagai mitra sekolah. Mereka harus terlibat dalam perencanaan semuanya. Perencanaan penggunaan anggaran sekolah, perencanaan penerapan kurikulum di sekolah, dan bagaimana quality control kualitas pendidikan di sekolah," paparnya.
Sehingga bagaimana cara mendisiplinkan siswa, orangtua pun harus diajak bicara. Dengan penerapan itu, maka sekolah bukan lembaga outsourcing atau "mesin laundry" tempat anak-anak yang tidak bisa membaca dan berhitung, lalu keluar dari sekolah menjadi anak-anak yang pintar.
Terkait dengan banyaknya pelaporan tentang peserta didik yang dihukum guru lalu tidak dapat diterima oleh orangtua murid, Ubaid mengatakan bahwa Tim Pencegahan Penanggulangan Kekerasan di sekolah harus "hidup" dan berperan fungsinya. "Jadi kalau ada orangtua lapor, itu harus langsung ditanggapi, ditindaklanjuti, lalu ada sanksi," tukasnya.
Dengan itu, maka tidak ada orangtua murid yang memproses laporan di tingkat penegak hukum. Karena menurutnya, biasanya laporan orangtua tidak ditindaklanjuti oleh komite, sehingga memilih kejalur hukum.
Guru Harus Berhati-hati dalam Mendisiplinkan Anak
Sementara itu, Pengamat Pendidikan, Iman Haeri mengemukakan maraknya laporan orangtua ke ranah hukum ditenggarai upaya mendisiplinkan terkait juga dengan semakin sadarnya masyarakat bahwa tindakan kekerasan memang tidak diperbolehkan di sekolah. "Ini juga menjadi suatu kritik bagi kami para guru agar berhati-hati di dalam mendisiplinkan anak," sebutnya dalam wawancara daring dengan Tim Lifestyle Liputan6.com, Kamis, 21 Novemebr 2024.
"Hindari hal-hal yang bersifat sentuhan fisik. Meskipun itu hanya mencubit, menyentil dan lain sebagainya," cetusnya.
Sementara itu menurut Iman, bentuk ekspresi dan kenakalan anak akan sesuai dengan usianya. Karena itu, guru harus bisa menanganinya dengan mengelola kelasnya sesuai perkembangan umur siswa.
Terkait dengan ikut campur orangtua, saat terjadi kekerasan di sekolah menurutnya penanganannya harus sesuai prosedur. Pelaporan pertama tentu harus di tingkat sekolah dulu, sesuai Permendikbud 46 2023 harus ditanyakan dulu ke Tim PPK di sekolah.
"Apakah PPK ini berjalan atau tidak, kebanyakan orangtua tidak percaya sehingga ingin melewati proses itu. Ketidakpercayaan itu pada gurunya, Tim PPK-nya atau kepala sekolahnya, padahal kan ada Komite Sekolah itu bisa juga jika memang tidak mempercayai menghubungi Satgas Pendidikan yang levelnya lebih tinggi," jelasnya.
Jika hal tersebut sudah ditempuh dan memang pelanggarannya sangat berat, tindakan hukum dengan melapor ke pihak berwajib bisa dilakukan. Maka diperlukan peran-peran institusi, seperti Polri misalnya agar tidak langsung meneruskan kasus semacam ini dilimpahkan ke Kejaksaan atau Pengadilan.
Namun guru pun harus dilindungi oleh segenap elemen masyarakat, termasuk di dalamnya lembaga negara dan aparat kepolisian. Fungsi tersebut harus berjalan, sehingga laporan pidana guru dengan tuduhan kekerasan pada anak bisa dievaluasi terlebih dahulu.