Liputan6.com, Jakarta - Kesakralan Gunung Everest belakangan mulai ternoda oleh pendakian 'massal' yang membuat macet dan sampah di puncak. Terkait hal itu, Nepal dilaporkan akan mengeluarkan aturan pendakian Gunung Everest terbaru untuk calon pendaki mendatang setelah bertahun-tahun mereka menggantungkan pendapatan pada Everest.
Seperti dilaporkan The Telegraph, rancangan undang-undang baru menunjukkan bahwa Nepal akan mengeluarkan izin pendakian Everest hanya untuk pendaki yang berpengalaman dan memiliki bukti setidaknya satu puncak setinggi 7.000 meter di negara Himalaya tersebut. Dengan begitu, mereka yang memiliki uang tapi kurang pengalaman tidak akan diizinkan untuk menaklukkan gunung setinggi 8.849 meter tersebut.
Media tersebut menyebutkan bahwa undang-undang baru itu disusun bertujuan untuk mengurangi kepadatan dan meningkatkan keselamatan secara menyeluruh di puncak yang terkenal di dunia itu. Jumlah pendaki yang terus meningkat di gunung ini telah menyebabkan antrean panjang, terutama yang berkelok-kelok melalui Zona Kematian yang terkenal - area di bawah puncak dengan oksigen alami yang tidak mencukupi untuk bertahan hidup.
Pada Mei 2019, sebuah gambar terkenal beredar dari foto menakjubkan yang diambil di puncak selama musim pendakian, menunjukkan antrean pendaki yang besar yang putus asa untuk mencapai puncak. Meskipun beberapa faktor berkontribusi terhadap kumpulan pendaki, yang memperburuk situasi adalah Nepal mengeluarkan jumlah izin yang memecahkan rekor untuk pendakian di sisi gunung mereka.
Menurut Reuteurs, dikutip dari news.com.au, Selasa (29/4/2025), setidaknya 12 pendaki meninggal dan lima lainnya hilang di lereng Everest pada 2023 ketika Nepal mengeluarkan 478 izin. Sementara tahun lalu, delapan pendaki meninggal dunia.
Tuai Pro Konta di Kalangan Pendaki
Menurut Reuters, rancangan undang-undang tersebut dilaporkan telah didaftarkan di Majelis Nasional - majelis tinggi parlemen - dengan aliansi yang berkuasa memegang suara mayoritas yang diperlukan untuk meloloskan RUU tersebut. Selain perubahan izin, disebutkan pula bahwa pemandu gunung yang disewa untuk menemani pendaki juga harus warga negara Nepal.
Nepal selama ini tergantung pada 'wisata' pendakian Everest untuk mendapatkan devisa. Akibatnya, terlalu banyak pendaki yang mencoba menaklukkan puncak gunung tertinggi di dunia tersebut. Sementara, China yang berbagi Everest, membatasi izin pendakian di sisi Tibet. Selain itu, jalur pendakian tersebut kurang populer karena dianggap kurang menantang.
Meskipun beberapa orang memuji perubahan tersebut, badan pendakian lainnya menunjukkan bahwa aturan 7000 meter harus diterapkan pada semua gunung, tidak hanya di Himalaya. Dalam sebuah pernyataan, seorang operator ekspedisi internasional mengatakan undang-undang tersebut tidak masuk akal.
"Saya juga akan menambahkan gunung yang dekat dengan 7.000 meter ke daftar tersebut dan yang banyak digunakan sebagai persiapan, seperti Ama Dablam, Aconcagua, Denali, dan lainnya," kata Lukas Furtenbach dari penyelenggara ekspedisi yang berbasis di Austria, Furtenbach Adventures.
Izin Pendakian Gunung Everest Naik 36 Persen
Garrett Madison dari Madison Mountaineering yang berbasis di AS mengatakan kepada Reuters bahwa puncak 6.500 meter di mana pun di dunia akan menjadi ide yang lebih baik daripada puncak 7.000 meter di Himalaya. "Terlalu sulit untuk menemukan puncak 7.000 meter plus yang wajar di Nepal," kata Madison.
Perubahan yang diusulkan muncul ketika Nepal mengumumkan kenaikan biaya izin sebesar 36 persen, dari biaya sebelumnya sebesar USD 11.000 atau sekitar Rp178 juta, kenaikan harga pertama dalam hampir satu dekade. Kenaikan serupa juga berlaku untuk pendakian di luar musim puncak.
Pada periode September hingga November, biaya izin akan menjadi USD 7.500, berkisar Rp121 juta, sementara selama bulan Desember hingga Februari, pendaki harus membayar USD 3.750, sekitar Rp60,9 juta. "Biaya izin (permit fees) belum diperbarui sejak lama," ujar Narayan Prasad Regmi, Direktur Jenderal Departemen Pariwisata Nepal, seperti dikutip dari laman BBC, Jumat, 24 Januari 2025.
"Kami telah memperbaruinya sekarang." Namun, Regmi tidak menjelaskan bagaimana pendapatan tambahan dari kenaikan biaya ini akan digunakan.
Mahkamah Agung Nepal Perintahkan Pembatasan Jumlah Pendakian
Pendakian gunung, termasuk Everest, merupakan sumber pendapatan penting bagi Nepal. Nepal adalah rumah bagi delapan dari 14 gunung tertinggi di dunia, termasuk Everest.
Sektor ini berkontribusi lebih dari empat persen terhadap ekonomi negara tersebut. Setiap tahun, sekitar 300 izin mendaki Everest dikeluarkan, yang menimbulkan kekhawatiran tentang overcrowding di puncak gunung.
Namun, pengelolaan gunung-gunung ini menghadapi tantangan besar, baik dari segi kapasitas, keamanan, hingga dampak lingkungan. Kritik terhadap Pemerintah Nepal juga muncul terkait pengelolaan kapasitas gunung.
Pada April 2024, Mahkamah Agung Nepal memerintahkan pemerintah untuk membatasi jumlah izin pendakian di Everest dan puncak lainnya, dengan menekankan bahwa kapasitas gunung harus dihormati. Namun, belum ada angka pasti mengenai jumlah maksimum yang diperbolehkan.
Gunung Everest, yang sering disebut sebagai "tempat sampah tertinggi di dunia," menghadapi tantangan besar dalam hal dampak lingkungan. Sejak 2019, Angkatan Darat Nepal secara rutin melakukan program pembersihan tahunan di gunung tersebut. Dalam lima tahun terakhir, setidaknya 119 ton sampah telah dikumpulkan, termasuk 14 jasad manusia dan beberapa kerangka, meskipun diperkirakan masih ada 200 jasad yang tertinggal di gunung tersebut.