Liputan6.com, Jakarta - Bila Boeing di Amerika Serikat yang gigit jari imbas kebijakan tarif Trump, Kampung Shein, pusat manufaktur di selatan China, kini sepi karena tak bisa leluasa lagi menjual pakaian-pakaian murah mereka tanpa bea masuk ke Amerika Serikat. Puluhan pabrik garmen dilaporkan berhenti beroperasi dalam beberapa minggu terakhir.
Bisnis di Distrik Panyu, Guangzhou itu dikenal sebagai pemasok utama raksasa fast fashion China, Shein. Sebelum Trump menerapkan tarif bea masuk ratusan persen pada produk-produk China, pakaian-pakaian hasil kerja para buruh pabrik itu membanjiri pasar Amerika dengan harga jauh lebih murah dari pakaian yang dijual peritel yang berbasis di AS.
Bahkan, produknya bisa langsung diterima oleh konsumen Amerika Serikat lewat pengiriman internasional tanpa pajak yang diberikan untuk produk senilai USD800 atau kurang. Namun kini, pekerja melaporkan pakaian-pakaian jadi menumpuk di pabrik karena belum terjual.
"Pesanan dari Shein telah menurun tahun ini, dan penjualan kami turun drastis," kata seorang pekerja di salah satu pabrik yang mempekerjakan sekitar 20 orang kepada kantor berita Jepang, Nikkei, dikutip dari NY Post, Selasa (22/4/2025).
Penghapusan kebijakan de minimis oleh Trump yang mulai berlaku pada 2 Mei 2025 membuat semua pengiriman, berapa pun ukurannya, kini dikenakan pajak impor. Kebijakan ini memungkinkan pengecer online, seperti Shein dan Temu, bersaing dengan harga yang lebih kompetitif di pasar Amerika yang merupakan faktor penting dalam model bisnis mereka.
"Pabrik-pabrik telah tutup di mana-mana hanya dalam dua bulan," kata Li Lianghua, seorang pemilik usaha yang berasal dari Provinsi Hunan, kepada Nikkei.
Shein Dorong Pengalihan Produksi ke Vietnam
Menanggapi perang dagang yang sedang berlangsung, Shein mendorong pemasoknya untuk memindahkan operasi mereka ke Vietnam sebagai bagian dari strategi untuk mengurangi dampak kebijakan Trump. Namun, pemasok yang lebih kecil tanpa kapasitas keuangan untuk pindah malah terpaksa menutup usaha sepenuhnya.
Li sendiri telah berhenti menerima pesanan dari Shein, mengalihkan strategi penjualannya ke pemasaran langsung di platform media sosial. Situasi serupa terjadi di Dongguan, sebuah kota manufaktur di sebelah timur Guangzhou, tempat pabrik-pabrik yang memasok produk-produk kulit dan tas ke perusahaan AS telah mengalami penurunan bisnis bahkan sebelum keputusan tarif terbaru Trump.
Satu pabrik di Dongguan kehilangan kontrak senilai USD150.000 per tahun dari empat klien besar Amerika pada akhir 2024. "Kami tidak memiliki prospek untuk mendapatkan kontrak AS baru, jadi kami harus menyerah," kata Liu Xiaodong, yang baru-baru ini mengambil alih pabrik tersebut. "Hanya ada risiko untuk berbisnis dengan AS sekarang."
Produsen Garmen China Alihkan Target Pasar ke Asia
Meskipun mengalami kemunduran, bisnis Liu tetap berjalan bahkan menghasilkan sekitar USD3,4 juta dalam penjualan tahunan, sebagian besar dari pasar Asia. Liu mengindikasikan rencana untuk lebih meningkatkan bisnis di Asia, menyoroti opsi pengiriman yang lebih cepat dan lebih terjangkau yang tersedia di pasar terdekat seperti Jepang dan Singapura.
Meskipun ekspor China ke AS melonjak lebih dari sembilan persen pada Maret 2025 karena pelaku bisnis bergegas mengirimkan barang sebelum tarif baru diterapkan, para pelaku industri memprediksi penurunan signifikan akan dimulai bulan ini, ketika total tarif 145 persen untuk impor China sepenuhnya berlaku.
Tren deflasi di China dapat merembet ke pasar lain ketika produsen China mencari pelanggan baru di luar AS, meningkatkan persaingan dan berpotensi memicu penurunan harga secara luas. Seorang eksekutif manufaktur China memperingatkan bahwa perang tarif akan membuat persaingan harga dalam ekspor ke Asia akan meningkat, menandakan masa-masa sulit yang akan datang bagi dinamika perdagangan global.
Perubahan ini memberi tekanan tambahan pada ekonomi China yang dibebani masalah, terutama di sektor real estat yang melemah. Pertumbuhan ekonomi tetap stagnan pada 5,4 persen pada kuartal pertama tahun ini.
Peringatan China pada Negara-negara yang Bersekongkol dengan AS
Dalam kesempatan terpisah, China memperingatkan akan membalas negara-negara yang bekerja sama dengan Amerika Serikat terkait perang dagang yang kini sedang berlangsung antara kedua negara tersebut. Peringatan itu menyusul laporan terkait rencana pemerintahan Presiden AS Donald Trump untuk menggunakan negosiasi tarif untuk menekan mitra-mitranya agar membatasi transaksi mereka dengan China.
China juga memperingatkan tentang risiko bagi suatu negara begitu perdagangan internasional kembali ke 'hukum rimba'. Pernyataan itu juga menegaskan posisi China sebagai pihak yang bersedia bekerja sama dengan semua pihak dan mempertahankan keadilan internasional.
Seperti diketahui, Trump bulan ini menghentikan kenaikan tarif besar-besaran terhadap negara-negara mitra dagangnya selama 90 hari, sementara menaikkan bea masuk lebih jauh atas barang-barang dari China hingga 145 persen. Pada awal April 2025, China membalas tarif AS dengan mengenakan pungutan sebesar 125 persen atas impor barang-barang Amerika.
Beijing juga telah membatasi ekspor mineral penting dan memasukkan beberapa perusahaan AS, yang sebagian besar lebih kecil, ke dalam daftar hitam yang membatasi mereka untuk bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan China. Sejauh ini, analis memperkirakan AS dan China tidak akan mencapai kesepakatan dalam waktu dekat, meskipun Trump memperkirakan kesepakatan dapat dicapai dalam 3--4 minggu ke depan.