Liputan6.com, Jakarta - Dalam beberapa tahun terakhir, tingkat konsumsi susu sapi di Amerika telah menurun secara signifikan. Konsumen beralih ke susu nabati untuk mengatasi intoleransi laktosa atau didorong kepedulian lingkungan dan peternakan sapi perah yang dianggap tidak beretika.
Nyatanya, susu nabati tidak sepenuhnya bebas masalah. Sejumlah ahli memperingatkan risiko bahaya mengonsumsi susu nabati yang dinilai lebih tinggi daripada susu sapi.
Mengutip NY Post, Selasa, 29 Oktober 2024, penelitian membuktikan bahwa produk susu berbasis tanaman tidak selalu mengandung gizi yang sama dengan susu hasil peternakan sapi perah. Sekitar sepertiga susu berbasis tanaman memiliki kadar gula mirip dengan susu stroberi atau cokelat.
Peneliti juga menyebut sebagian besar produk susu mengandung zat aditif dan pengemulsi yang menggolongkannya sebagai makanan ultra-olahan (UPF). Pengemulsi, meliputi gelatin, protein whey, gom xantan, dan karboksimetilselulosa, umumnya ditambahkan ke susu nabati untuk mencegah pemisahan dan menciptakan tekstur halus dan lembut.
Makanan ultra-olahan itu disebut dapat mengganggu sistem mikroba. Zat tambahan ini dikatakan dapat mengubah bakteri usus dan memicu peradangan usus. Sebagaimana diketahui, peradangan kronis merusak DNA dan meningkatkan risiko kanker.
Para ahli turut meyakini paparan berlebihan terhadap UPF merupakan salah satu penyebab meningkatnya angka kanker usus besar di kalangan anak muda. Tercatat sebanyak 20 persen kasus kanker kolorektal pada 2019 ditemukan pada individu berusia di bawah 55 tahun, meningkat dari 11 persen dari data 1995. Lebih parahnya, kelompok demografi lebih muda cenderung terdiagnosis setelah stadium lanjut, sehingga lebih sulit untuk diobati dan disembuhkan.
Peningkatan Kasus Kanker Kolorektal Akibat Susu Nabati di Kalangan Usia Muda
Menurut para dokter, diperkirakan kanker usus besar akan menyebabkan sekitar 53.000 kematian di AS tahun ini. Penelitian terdahulu mengaitkan pengemulsi makanan karboksimetilselulosa (CMC) dan polisorbat 80 dengan kanker usus besar pada tikus.
Sementara, sebuah studi terpisah pada 2021 menemukan bahwa ketika diperkenalkan ke koloni bakteri yang mirip dengan yang ditemukan di usus manusia, pengemulsi menyebabkan bakteri tersebut untuk mati atau terganggu. Mikrobioma usus kita, terdiri dari kumpulan bakteri, virus, dan jamur dalam sistem pencernaan, diyakini memainkan peran penting dalam perkembangan dan kemajuan kanker kolorektal.
Penelitian menunjukkan bahwa bakteri di saluran pencernaan berperan penting dalam melawan kanker, dan mengganggunya dapat meningkatkan kemungkinan kanker kolorektal. Dr. Maria Abreu, Profesor Kedokteran, Mikrobiologi, dan Imunologi di Universitas Miami, menggemparkan publik tahun lalu dengan pernyataannya.
Ia mencurigai bahwa bahan kimia dan bakteri dalam makanan olahan menyebabkan enzim usus bergejolak, yang berpotensi mengakibatkan peradangan dan kanker. "Bahkan makanan yang kita anggap baik untuk kita pun bisa menjadi masalah," jelas Abreu.
"Hal-hal seperti pengemulsi yang ditambahkan, hal-hal yang lembut, seperti yogurt tanpa lemak dan semua hal ini, benar-benar dapat mengubah mikrobioma usus secara signifikan," tambahnya.
Risiko Lonjakan Gula
Bukan hanya zat aditif dan pengemulsi yang membuat susu nabati menjadi sumber kekhawatiran, tetapi lonjakan gula darah juga dapat menjadi masalah yang perlu diperhatikan. Jessica Cording, seorang ahli diet terdaftar dan penulis, menekankan pentingnya manajemen gula darah.
"Saya sangat fokus pada manajemen gula darah dalam pekerjaan saya, yang penting untuk banyak aspek kesehatan fisik dan mental kita," kata Jessica Cording kepada DailyMail.
Cording menjelaskan bahwa susu gandum mengandung protein lebih rendah dan karbohidrat lebih tinggi daripada susu sapi atau susu kacang. Saat tubuh memecah karbohidrat ini, akan terjadi lonjakan. Seiring berjalannya waktu, siklus lonjakan bisa menyulitkan pengelolaan berat badan dan membuat konsumen lebih rentan terhadap penyakit terkait gaya hidup, misalnya diabetes.
Sementara, mengutip CNN, Selasa, 25 Juli 2023, temuan studi terbaru yang disampaikan di Nutrition 2023, konferensi tahunan diadakan oleh American Society for Nutrition di Boston pada Senin, 24 Juli 2023, mencatat hanya 28 jenis susu nabati yang memiliki kandungan protein, vitamin D. Kemudian, jumlah kalsium yang setara atau lebih tinggi dibandingkan susu sapi.
Susu Nabati Keterbatasan Nutrisi Dibandingkan Susu Sapi
Peneliti dari University of Minnesota telah mengembangkan database mencakup hampir 20.000 label nutrisi, termasuk 233 produk susu nabati dari 23 produsen. Sekitar setengah dari produk tersebut diperkaya dengan vitamin D, dua pertiga diperkaya dengan kalsium, dan sekitar 20 persen memiliki kandungan protein setara dengan susu sapi.
Abigail Johnson, Ph.D., Penulis Utama Studi dan Ahli Diet, menjelaskan bahwa orang tidak perlu merasa khawatir berlebihan, karena nutrisi tersebut dapat diperoleh dari sumber lain. Dia juga menambahkan bahwa susu sapi tidaklah sempurna.
"Namun, jika konsumen beranggapan bahwa susu nabati dapat menggantikan susu sapi sepenuhnya, banyak dari mereka yang salah," kata Abigail.
Penelitian tersebut mendapati bahwa hanya 38 dari 223 pengganti susu yang mengandung protein 8 gram atau lebih. Jumlah tersebut adalah jumlah yang sama yang terdapat dalam gelas susu berukuran 8 ons.
Susu nabati biasanya hanya berisi sekitar 2 gram protein, meski susu yang terbuat dari kedelai dan kacang polong serta beberapa kombinasi susu terbukti mengandung antara 6 hingga 10 gram. Dalam hal kalsium dan vitamin D, studi itu mencatat bahwa 170 dari 233 jenis susu alternatif diperkaya dengan jumlah yang mirip dengan apa yang ditemukan dalam segelas susu.